Para suami di Indonesia perlu hati-hati memperlakukan istri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) nunjukkin, istri di Indonesia sekarang semakin banyak yang menggugat cerai suami. Di tahun 2024 misalnya, dari total hampir 395 ribu kasus perceraian di Indonesia, 78 persennya atau sekitar 309 ribu kasus diajukan oleh istri! Sisanya, hampir 86 ribu kasus diajukan oleh suami.
Kalau dilihat dari penyebabnya, BPS mencatat alasan paling dominan adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, alias ada 251 ribu kasus. Lalu disusul faktor ekonomi ada 100 ribu kasus, dan kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 7 ribu kasus. Ada juga penyebab lain kayak suami meninggalkan istri, masalah judi, mabuk, atau poligami.
Secara geografis, angka perceraian paling tinggi masih terjadi di Pulau Jawa. Rinciannya: Jawa Barat mendekati 89 ribu kasus, Jawa Timur 79 ribu kasus, dan Jawa Tengah hampir 65 ribu kasus. Artinya, lebih dari setengah perceraian di Indonesia terjadi hanya di tiga provinsi itu. Dan tren ini terus meningkat dari tahun ke tahun sejak tahun 2020.
Nah, kalau kalian pikir fenomena ini cuma terjadi di kalangan masyarakat biasa, coba lihat dunia hiburan. Tiga selebriti perempuan; Raisa Andriana, Sabrina Chairunnisa, dan Tasya Farasya belakangan juga dikabarkan bercerai. Dan semua perceraian itu juga diajukan oleh pihak perempuan. Artinya, dari publik figur sampai masyarakat umum, perempuan makin berani ambil keputusan buat keluar dari hubungan yang nggak sehat.
Menurut sosiolog Drajat Tri Kartono dari Universitas Sebelas Maret, hal ini nunjukin adanya perubahan sosial besar, termasuk meningkatnya otonomi perempuan di desa. “Pilihan utama mereka bukan lagi menikah. Pertama, mereka ingin bekerja. Kedua, melanjutkan pendidikan”, jelas Drajat. “Ketiga, menikmati hidup dengan jalan-jalan. Baru yang keempat adalah menikah,” lanjutnya.
Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Gita Aulia Nurani, juga bilang kalau keputusan untuk cerai jarang banget berasal dari tindakan impulsif. “Dibutuhkan proses refleksi panjang, rasa kehilangan, dan dorongan untuk menemukan jati diri,” katanya. Menurut Gita, perempuan sekarang lebih punya literasi psikologis dan lebih sadar pentingnya kesehatan mental serta harga diri. Mereka nggak mau lagi hidup dalam hubungan yang cuma utuh di atas kertas tapi kosong secara emosional.
Guru Besar Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura, Khoirul Rosyadi, menilai fenomena ini muncul karena perempuan makin mandiri secara ekonomi dan sosial. Sedangkan Dr. Tin Herawati dari IPB University menambahkan faktor perubahan status sosial. Misalnya istri jadi ASN bisa memicu dinamika baru dalam rumah tangga kalau pembagian waktu dan peran nggak seimbang.
Jadi, ketika netizen bilang ‘perempuan makin galak’ itu terlalu sempit. Faktanya, angka 78 persen itu adalah cerminan kesadaran baru perempuan Indonesia untuk memperjuangkan kesejahteraan emosional dan hidup yang lebih setara. Mereka bukan menyerah, tapi berani bilang ‘cukup’ saat hubungan udah nggak adil.
Dari kacamata Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS), fenomena ini nggak boleh dibaca sebagai krisis keluarga semata, tapi sebagai panggilan untuk introspeksi sosial. Keluarga sehat dimulai dari relasi yang saling menghargai, bukan dari siapa yang paling tahan luka. Tapi pemerintah juga punya PR besar. Kalau tren perceraian ini terus naik tanpa solusi, anak-anak bisa jadi korban emosional, dan masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pernikahan.
Kalau itu terjadi, efeknya bisa nyerempet ke penurunan angka kelahiran dan krisis demografi — yang pada akhirnya, negara juga yang rugi. Jadi, selain mendukung perempuan untuk berdaya, pemerintah perlu hadir. Contohnya, lewat program konseling pra-nikah, pendampingan keluarga, dan akses layanan psikologis yang mudah dan murah. Negara nggak boleh cuma menghitung angka perceraian, tapi juga hadir memperbaiki sistem yang bikin orang kehilangan makna dari pernikahan. Karena kalau generasi muda makin takut menikah, alhasil tingkat populasi menurun, siapa yang akan membangun masa depan bangsa?


