Daebak! Kampus Top Korea Tolak Calon Mahasiswa Pelaku Bully, Indonesia Kapan Nyusul?

Published:

Korea Selatan baru aja bikin gebrakan besar nih. Mulai tahun ajaran dua ribu dua puluh enam, semua universitas wajib menolak pelamar yang punya catatan kekerasan di sekolah, tanpa peduli jalur masuknya. Kebijakan ini muncul setelah laporan Korea JoongAng Daily (empat November dua ribu dua puluh lima) yang nyebut empat puluh lima pelajar gagal masuk ke enam universitas top.

Termasuk Seoul National University (SNU), gara-gara punya riwayat bullying. Padahal banyak dari mereka nilainya tinggi banget. Tapi pemerintah Korea bilang, “prestasi nggak bisa nutupin perilaku buruk.” Aturan ini disahkan lewat Kementerian Pendidikan (MOE) bareng Dewan Pendidikan Universitas Korea (KCUE). Kebijakan itu dibuat yang mengacu pada School Violence Prevention and Countermeasures Act. Pertengahan dua ribu dua puluh lima lalu udah disetujui dan bakal berlaku penuh tahun depan.

Semua universitas wajib ngecek data pelamar lewat sistem nasional bernama Student Life Record. Student Life Record itu kayak rapor digital nasional — isinya dari SD sampai SMA, lengkap sama nilai, kegiatan, dan catatan disiplin. Kalau pernah terlibat kekerasan, rekam jejaknya bakal tersimpan sampai empat tahun setelah lulus, dan bisa dicek kampus pas seleksi.

SNU sendiri udah mulai aturan ini sejak dua ribu empat belas, awalnya cuma ngurangin skor ujian pelaku bully. Sekarang, levelnya naik: langsung ditolak. Kebijakan makin kuat setelah heboh kasus putra mantan jaksa Chung Sun-sin, yang sempat diterima di SNU meski pernah ngebully berat temannya. Kasus itu bikin publik marah, karena dianggap nunjukin kalau pelaku kekerasan masih bisa lolos cuma karena punya “nama besar.”

Buat pemerintah Korea, ini jadi titik balik buat nyusun kebijakan zero tolerance terhadap kekerasan sekolah. Nggak cuma di level universitas, pemerintah juga punya program School Violence Zero Plan. Isinya antara lain: pasang CCTV di area rawan, pelatihan guru soal penanganan bullying, kelas empati sejak SD. Juga layanan konseling dua puluh empat jam buat korban maupun pelaku. Setiap sekolah juga wajib punya komite pencegahan kekerasan buat nyelidikin kasus dan ngasih sanksi yang adil.

Malah, ke depan catatan kekerasan berat bisa ngaruh ke beasiswa dan lamaran kerja di sektor publik. Korea Selatan serius banget ngebangun pendidikan yang aman dan manusiawi.

Sekarang coba bandingin sama Indonesia. Di sini justru kasus bullying makin meningkat. Ada santri di Aceh yang bakar ponpes karena dibully, siswa SMAN tujuh puluh dua Jakarta ngebom masjid gara-gara dendam, sampai Angga di Grobogan yang tewas dianiaya teman sekolahnya. Ini sedih banget sih. Karena artinya sistem pengawasan sekolah di Indonesia masih rapuh.

Banyak sekolah masih tutup mata demi jaga nama baik, sementara korban kehilangan masa depan, bahkan nyawa. Padahal kalau mau, Indonesia bisa banget bikin sistem kayak Korea. Misalnya dengan catatan perilaku masuk ke SNBP/SNBT, bikin komisi anti-bullying di tiap provinsi, dan kasih sanksi buat sekolah yang nutupin kasus kekerasan.

Banyak negara udah tegas soal ini. Jepang punya catatan permanen siswa. Singapura bisa ngelarang pelaku ikut ujian nasional. Finlandia punya program KiVa yang artinya “Melawan Bullying”. Di AS, beberapa negara bagian mempertimbangkan catatan kekerasan buat beasiswa.

Intinya, di banyak negara, karakter dan tanggung jawab sosial nilainya sama pentingnya dengan akademik. Sementara di Indonesia masih banyak yang nganggep bullying cuma “kenakalan remaja,” bukan kejahatan sosial. Kalau mau pendidikan maju, harus ada aturan tegas dan konsisten yang bener-bener lindungi siswa.

Soalnya, bangsa yang menoleransi kekerasan di sekolah, sama aja lagi nyiapin generasi yang terbiasa menyakiti. Korea Selatan dan negara lain udah buktiin: pendidikan sejati bukan soal ranking, tapi soal karakter dan empati. Semoga Indonesia bisa lebih tegas dalam menindak para pelaku bully. Yuk jauhkan anak-anak kita dari bullying!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img