Miris! Siswa SMP di Tangerang Selatan Dibully Sejak MPLS

Published:

Kasus bullying di sekolah masih aja terjadi. Mirisnya, tindakannya makin parah dan membahayakan. Ini dialami oleh siswa SMPN 19 Tangerang Selatan berinisial MH (13). Gara-gara dibully, matanya jadi rabun dan sekarang bahkan nggak bisa jalan. Parah banget.

Kakak sepupu korban, Rizky, bilang kejadian puncak terjadi 20 Oktober lalu. Waktu itu MH dipukul di kepala pakai kursi besi pas jam istirahat. Bayangin, anak SMP loh. Rizky juga bilang, ternyata sepupunya udah dibully sejak MPLS. “Kepalanya dipukul pakai bangku besi, udah gitu tangannya ditusuk-tusuk pulpen,” katanya. Setelah kejadian, dia sering mengeluh pusing dan dadanya sesak. Sampe akhirnya dibawa ke rumah sakit dan saat ini masih dirawat di RS Fatmawati.

Guru BK sekolah bilang, mereka baru tahu kasus ini setelah orang tua korban ngelapor tanggal 21 Oktober. Orang tua bilang anaknya alami gangguan penglihatan karena dibully teman sekelasnya. Tapi respons sekolah cuma mediasi. Yes, cuma mediasi. Pihak sekolah mempertemukan korban dan pelaku pada 22 Oktober. Hasilnya, orang tua pelaku sepakat menanggung biaya pengobatan. Tapi ternyata cuma mampu bayar sekali terapi. Padahal MH masih butuh perawatan panjang.

Ketua UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Tangsel bilang mereka lagi koordinasi sama sekolah dan Dinas Pendidikan untuk melakukan penyelidikan lebih dalam. KPAI juga turun tangan dan minta kasus ini diproses hukum. Mereka bilang, cuma lewat jalur hukum kebenaran bisa kelihatan jelas.

Kasus ini jadi tamparan keras buat dunia pendidikan kita. Bukan cuma soal satu anak, tapi soal sistem yang gagal melindungi. Sekolah sering lebih takut citranya rusak ketimbang mikirin keselamatan murid. Asal udah dimediasi, dianggap beres. Padahal korban masih menderita, bahkan sampai kehilangan kemampuan jalan. Sementara pelaku tetap bebas main seperti biasa. Ini bukan “kenakalan remaja”. Ini kekerasan. Yang lebih miris, bullying kayak gini udah sering banget terjadi, tapi terkesan dibiarkan.

Padahal pada bulan Oktober aja udah ada 2 kasus berat. Sebelum MH, ada Angga Bagus Perwira, siswa SMP Negeri 1 Geyer di Grobogan, Jawa Tengah. Angga meninggal setelah dibully temannya. Padahal dua bulan sebelumnya dia udah lapor ke sekolah. Tapi responnya cuma, “Udah diselesaikan internal.” Seringkali korban cuma disuruh sabar, pelaku disuruh minta maaf, terus semua dianggap selesai. Padahal trauma anak nggak selesai segampang itu.

Negara sebenarnya udah punya aturan tegas soal ini. Ada Permendikbud No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah. Isinya jelas: setiap sekolah wajib punya tim khusus buat tangani kekerasan. Tapi kebanyakan sekolah bahkan nggak tahu mereka harus membentuk tim ini. Jadi pas ada kasus, mereka panik, ditutup-tutupin, dan ujungnya mediasi lagi.

Kasus MH dan Angga harusnya jadi titik balik. Budaya diam dan pura-pura beres udah nggak bisa ditoleransi. Setiap anak berhak pulang ke rumah dengan tubuh dan hati yang utuh. Keadilan buat MH dan Angga bukan cuma soal menghukum pelaku. Tapi juga soal ngubah sistem yang selama ini ngebiarin kekerasan tumbuh. Kita nggak butuh sekolah yang cuma pinter ngomong soal karakter. Kita butuh sekolah yang aman buat anak-anak bertumbuh. Dan kalau negara beneran serius mau berantas bullying, hukuman harus tegas, perlindungan harus nyata, dan empati harus jadi budaya. Tindak tegas para pelaku bullying!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img