Advokat Yang Memperjuangkan Korban Pelecehan Seksual Malah Dikriminalisasi

Published:

Kalau Anda peduli dengan nasib para perempuan di Indonesia yang jadi korban kekerasan seksual, Anda harus peduli dengan berita ini. Ini adalah berita tentang Meila Nurul Fajriah. Dia adalah pembela perempuan korban kekerasan seksual, tapi sekarang dia justru digugat dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Meila adalah advokat atau pengabdi bantuan hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Fokus perjuangannya ialah menangani isu-isu perlindungan hak-hak perempuan. Namun kini dia justru ditetapkan sebagai tersangka pada 24 Juni lalu, atas kasus pencemaran nama baik pada terduga pelaku pelecehan seksual, berinisial IM.

Biar gak bingung, mari kita melihat balik kronologi kasus Meila. Ini bermula dari pengaduan pelecehan seksual kepada LBH Yogyakarta, 17 April 2020. Seorang alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yang pernah memperoleh predikat Mahasiswa Berprestasi, dituduh melakukan pelecehan seksual. Tapi dia dituduh melakukan pelecehan terhadap bukan hanya satu-dua orang perempuan. Sampai Mei 2020, LBH menerima total pengaduan dari 30 orang yang mengaku dilecehkan oleh IM.

Nggak hanya di Indonesia, rekan IM saat melanjutkan kuliah S2 nya di Melbourne University, Australia juga ikut melaporkan pengalaman suram ini. Pelecehan yang diadukan ada beragam jenisnya. Mulai dari pelecehan verbal, fisik hingga percobaan pemerkosaan. Modusnya pun beragam. Misalnya, pada awalnya hanya mengobrol biasa, namun berujung pada percakapan mengenai apa yang mereka lakukan kalau hanya berdua di kamar. Ada pula modus penjualan buku, namun si korban harus mengambil di tempat kos pelaku, sampai akhirnya di korban disekap. Dan banyak modus lainnya.

Karena ada begitu banyak laporan, LBH Yogyakarta merasa perlu menggelar beberapa konferensi Pers. Salah satunya adalah konferensi pers berjudul ‘Update Penanganan Kasus Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh IM’. Konferensi itu tentu menghadirkan Meila, sebagai penanggung jawab dan dua rekannya dari LBH Yogyakarta. Dalam sesi itu, Meila menyebutkan nama lengkap IM sebagai terduga pelaku pelecehan seksual.

Dalam acara itu, Meila hadir atas nama LBH Yogyakarta. Penyebutan nama lengkap IM juga bukan tanpa alasan, melainkan memenuhi keinginan korban agar tidak memberikan ruang IM di ranah publik. Gak terima dengan sikap Meila, serangan balik pun akhirnya dilayangkan IM pada Oktober 2020. Meila dilaporkan ke polisi berdasarkan Pasal 27 ayat 3 UU ITE atau sangkaan pencemaran nama baik. Alasannya, karena Meila membuka nama asli IM dan menyebutnya sebagai predator seksual.

Plot twistnya lagi, laporan itu malah dikabulkan Polda DIY yang akhirnya menetapkan Meila sebagai tersangka pada 24 Juni 2024. Ini jelas mengherankan. Karena itulah pada 25 Juli di Jakarta, dilakukan konferensi pers yang menghadirkan LBH Yogyakarta dan berbagai organisasi masyarakat sipil. Koalisi pendukung Meila itu menganggap tindakan polisi menjadikan Meila tersangka sebagai tindakan yang berlebihan.

Dikatakan oleh mereka, Meila adalah advokat yang punya hak imunitas, sebagaimana ditentukan Pasal 29 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam pasal itu dikatakan, “”Pendamping hukum korban kekerasan seksual, termasuk pendamping hukum meliputi advokat dan paralegal; tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas pendampingan atau pelayanannya,”.

Jadi kalau polisi mengikuti pasal tersebut, Meila seharusnya tidak bisa dituntut secara hukum karena ia menyebut nama IM dalam konteks pendampingan hukum. Tindakan polisi ini juga terkesan bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman UU ITE yang ditandatangani Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri. Pasal 27 ayat 3 UU itu menyebut, konten yang berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan, tidak dapat dijadikan pelanggaran pidana.

Dalam hal ini, Meila menyampaikan pendapat atau pandangannya tentang IM berdasarkan 30 kasus dugaan pelecehan seksual yang diterima LBH. LBH Yogyakarta menyatakan mereka tidak mungkin memperjuangkan hal yang tidak dapat dibuktikan atau tidak sesuai kenyataan. Mereka juga menegaskan mereka memiliki bukti-bukti kuat, yang sayangnya tidak bisa dipublikasikan di luar sidang saat ini karena keperluan perlindungan identitas korban.

Jadi, LBH maupun kelompok-kelompok masyarakat sipil pendukungnya menganggap, yang terjadi pada Meila adalah ‘KRIMINALISASI’ pada pekerja yang memperjuangkan hak asasi manusia (HAM). Seharusnya kan yang jadi fokus utama adalah membuktikan kebenaran tuduhan adanya perkosaan terhadap begitu banyak korban. Kok sekarang justru pindah untuk membuktikan ada tidaknya pencemaran nama baik oleh kuasa hukum. Koalisi pendukung Meila menganggap Polda DIY melecehkan profesi advokat dan tidak berpihak pada korban. Polisi dianggap melakukan pola ‘kill the messenger’, alias membisukan pihak yang menyampaikan kebenaran dan bukan memeriksa kebenaran itu sendiri. Mereka menganggap percuma UU TPKS itu ada, tapi aparatnya tidak berpihak pada substansi hukum itu.

Kita memang perlu terus mengikuti secara cermat apa yang terjadi pada kasus Meila ini. Ada tuduhan bahwa polisi mengabaikan fakta-fakta penting yang menunjukkan IM sebagai pelaku kekerasan seksual, bahkan setelah adanya bukti dari UII sendiri.

Bayangkan ya, kalau seorang advokat saja bisa dikriminalisasi seperti ini, bagaimana masyarakat biasa?Kriminalisasi Meila jelas merupakan serangan serius terhadap perempuan pembela HAM dan pendamping korban kekerasan seksual. Ini merupakan langkah mundur negara dalam melindungi korban kekerasan seksual dan komitmen untuk melawan segala bentuk kekerasan seksual.

Mari kita harapkan kriminalisasi Meila bisa dihentikan, sementara penyidikan rangkaian dugaan pelecehan seksual IM bisa dituntaskan. Hadirkan negeri negara yang aman dan bebas dari pelecehan seksual!

KATEGORI: P3ALD

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img