Ini kabar buruk buat ASN pemalas di Jawa Barat. Mulai 1 November nanti, nama-nama mereka bakal dipajang di media sosial resmi Pemprov Jawa Barat! Kedengeran kayak clickbait, tapi ini beneran pernyataan resmi Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi. Pengumuman itu dia sampaikan langsung di acara Pembinaan Kepegawaian Abdi Nagri Menyulam Hari 2025 kemarin, di Sasana Budaya Ganesha, Bandung.
Nah, inti kebijakannya simpel tapi kontroversial. ASN yang kinerjanya jeblok atau absensinya parah bakal dipajang namanya di akun media sosial resmi masing-masing dinas. Kebijakan ini mulai berlaku 1 November 2025 dan bakal jadi rutinitas bulanan. Jadi tiap bulan, publik bisa lihat siapa aja ASN yang masuk kategori malas versi Pemprov. “Setiap bulan nanti bisa lihat. Pegawai dengan tingkat kehadiran rendah dan kinerjanya buruk akan diumumkan di media sosial,” ucap Dedi.
Menurut Dedi, alasan utamanya jelas. ASN digaji pake duit rakyat, jadi logis dong kalau harus ada “produk” dari kerja mereka. “Ya orang digaji kan harus ada produk. Kalau digaji enggak ada produk, ngapain?” katanya tegas. Alasan kedua, Pemprov Jabar lagi bersiap menghadapi ancaman krisis fiskal 2026 karena transfer dana pusat diprediksi menurun. Jadi birokrasi harus efisien, jangan ada pegawai yang makan gaji buta. Dedi juga cerita, sebenarnya udah ada lebih dari 20 ASN yang dipecat gara-gara nggak perform, tapi selama ini publik nggak pernah tahu.
Bedanya sekarang, masyarakat bakal ikut lihat biar ada tekanan sosial yang bikin pegawai malas mikir dua kali. “Diberhentikan. Hari ini bisa ditanya, udah lebih dari 20 orang diberhentikan, cuman kita tidak umumkan,” ucapnya. SS Tapi tenang, Pemprov nggak langsung main pecat. Ada tahapannya. Pertama, ASN yang ketahuan nggak produktif bisa dipindahin ke sekolah-sekolah buat bantu administrasi. Kalau masih bandel juga, baru kena sanksi berat sampai pemberhentian.
Respon publik? Campur aduk. Ada yang setuju karena akhirnya ada transparansi. “Nyeleneh tapi abdi teh sangat setuju,” ucap salah satu netizen. Tapi ada juga yang skeptis. “Coba mundur dan pikir pelan-pelan, siapa yang paling jadi sasaran tembak? Iya, PNS yang dibawah-bawah. Atasan mereka, pejabat diatas, sulit kena”, tulis netizen lain. “Tipikal performative, bukannya dimanage dan dibuat sistem gimana caranya biar ga males”, tambah yang lain.
Kalau dilihat sekilas, kebijakan ini memang punya sisi positif. Transparansi makin kelihatan, publik bisa ikut ngawasin, dan budaya kerja santai-santai bisa ditekan. Apalagi di era medsos, cara ini bisa cukup ampuh bikin ASN waspada. Tapi pertanyaan juga muncul: standar “kinerja buruk” itu apa? Absensi rendah otomatis malas? Terus gimana kalau ada pegawai yang kerjanya nggak kelihatan, tapi sebenarnya penting?
Nah, buat kami di Gerakan PIS, semangat transparansi Dedi patut diapresiasi. ASN memang digaji rakyat, jadi wajar publik tahu siapa yang serius kerja. Tapi jangan sampai semangat bagus ini berubah jadi praktik mempermalukan, yang bisa merugikan martabat pegawai. ASN tetap warga negara, mereka berhak dapat evaluasi objektif dan adil.
Menurut PIS, reformasi birokrasi jangan berhenti di medsos. Harus ada sistem pembinaan yang jelas, indikator kinerja yang fair, mekanisme banding, plus program peningkatan kapasitas biar pegawai bisa berkembang. Kalau cuma diumumin di medsos tanpa solusi, nanti efeknya bisa sekadar jadi tontonan publik. Intinya, PIS dukung penuh langkah Dedi, tapi mendorong biar ada kombinasi transparansi, pembinaan, dan sanksi tegas. Dengan begitu, Jawa Barat bisa jadi contoh daerah yang bukan cuma disiplin, tapi benar-benar punya birokrasi yang layak dibanggakan. Yuk, benahi ASN dengan tegas dan terukur!


