Lagi-lagi, ada kabar sedih dari dunia pesantren. Atap asrama putri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Syekh Abdul Qodir Jaelani di Desa Blimbing, Situbondo, ambruk pas para santri lagi tidur lelap. Kejadian ini terjadi Rabu kemarin, pukul 01.00 dini hari.
Akibatnya, satu santriwati berusia 12 tahun bernama Putri meninggal dunia. Sementara belasan lainnya luka-luka dan langsung dilarikan ke RSUD dan Puskesmas Besuki. “Ini musibah, kami berduka. Dari 19 santri yang sedang berada di lokasi kejadian, satu orang santri putri meninggal,” ujar Kiai Hasan, pengasuh pondok. Menurut warga sekitar, malam itu hujan turun deras disertai angin kencang. “Atap bangunan lantai dua ponpes yang ambruk,” cerita Sony, warga Blimbing.
Polisi langsung olah TKP, dan Kapolres Situbondo AKBP Rezi Darmawan bilang pihaknya juga udah panggil ahli bangunan buat cari tahu penyebab pasti. “Hasil penyelidikan kami masih belum tau penyebabnya, apakah faktor cuaca atau faktor yang lain. Kami juga akan koordinasi dengan pihak kementerian,” katanya. Dari pihak pemerintah daerah, Wakil Bupati Situbondo Ulfiyah turun langsung. Dia memastikan seluruh biaya pengobatan korban bakal ditanggung Pemkab lewat dana tak terduga (BTT) dan janji percepat renovasi asrama putri. Dari Jakarta, Kementerian Agama juga ikut menyampaikan duka dan kasih bantuan Rp200 juta buat perbaikan bangunan.
Tapi di luar semua langkah cepat itu, ada pertanyaan besar yang gak bisa diabaikan: kenapa bangunan pesantren bisa ambruk lagi? Soalnya, ini bukan kejadian pertama. Bulan lalu, mushala di Pondok Al-Khoziny, Sidoarjo, juga ambruk. Bangunannya baru, tapi strukturnya lemah dan diduga ada kelalaian dalam proses konstruksi. Dan ternyata, bangunan di Situbondo ini juga masih baru — baru dua tahun empat bulan berdiri. Ketua PCNU Situbondo, Muhyiddin Khotib, bilang bangunan itu sempat kena gempa pada 10 Oktober lalu tapi tidak diperiksa ulang. “Tidak ada unsur kelalaian. Ini murni bencana,” ujarnya. Tapi kalau dipikir, masa bangunan baru bisa selemah itu?
PBNU lewat KH Zulfa Mustofa juga ikut bersuara: “Berulang dalam waktu hanya sebulan dari musibah Al-Khoziny, tentu ini memprihatinkan.” PBNU bahkan udah minta RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) buat mulai mendata dan audit bangunan pesantren, terutama yang tua atau bertingkat. Masalahnya, Indonesia punya lebih dari 26 ribu pesantren, dan banyak di antaranya belum punya izin bangunan atau audit kelayakan resmi (PBG). Jadi, kalau menyebut bencana di Situbondo hanya karena cuaca, itu kesimpulan yang menyederhanakan. Cuaca ekstrem mungkin pemicu, tapi bukan akar masalahnya. Polanya udah berulang: hujan deras, atap roboh, korban santri, dan bangunan belum standar.
Artinya ada masalah sistemik — dari pengawasan, kualitas konstruksi, sampai minimnya inspeksi berkala. Buat kami di Gerakan Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS), tragedi Situbondo bukan lagi musibah. Ini alarm keras sekaligus tamparan buat semua pihak yang lalai memastikan keselamatan santri. Karena pesantren itu bukan cuma tempat ibadah, tapi rumah kedua bagi ribuan anak yang menuntut ilmu dan mimpi mereka di sana. Harus ada audit menyeluruh semua bangunan pesantren, hentikan proyek asal-asalan, dan buka hasilnya ke publik. Gak ada lagi alasan “faktor alam” buat menutupi ketidaktahuan dan kelalaian manusia. Stop bangun bangunan ngawur dan berlindung di balik instansi suci! Nyawa santri gak seharusnya jadi korban dari sistem yang pura-pura gak salah.


