Kabarnya, Bahasa Portugis bakal dijadikan pelajaran di sekolah lho. Serius? Iya, bener! Pernyataan ini langsung disampaikan Presiden Prabowo Subianto saat bertemu Presiden Brasil Lula da Silva di Istana Merdeka pada 23 Oktober lalu. Prabowo mengatakan, Bahasa Portugis akan menjadi salah satu bahasa prioritas yang diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia.
Menurutnya, ini bukti bahwa Indonesia menganggap Brasil sebagai mitra penting. Ia juga memerintahkan Menteri Pendidikan Tinggi dan Menteri Pendidikan Dasar untuk mulai mempersiapkan pengajaran bahasa itu. Tujuannya untuk mempererat hubungan bilateral Indonesia-Brasil. Serta untuk meningkatkan daya saing global siswa Indonesia. Termasuk peluang kerja di negara-negara berbahasa Portugis (seperti Brasil, Portugal, dan bekas koloninya di Afrika serta Asia). FYI, Bahasa ini jadi bahasa resmi di 10 negara, termasuk negara-negara Afrika seperti Angola, Mozambik, Guinea-Bissau, dan lain-lain. Jumlah penuturnya mencapai lebih dari 260 juta orang di seluruh dunia. Pejabat BRIN, Obing Katubi menyebut, ini peluang besar untuk membuka hubungan dengan negara-negara berbahasa Portugis, terutama di Afrika.
Tapi kebijakan ini langsung jadi kontroversi dan menuai kritik dari berbagai pihak. Pengamat pendidikan dan anggota DPR mempertanyakan kebijakan mendadak ini. Ina Liem, pengamat pendidikan sekaligus CEO Jurusanku, menilai pernyataan Presiden itu sebaiknya tidak ditindaklanjuti mentah-mentah. “Kalau setiap isu baru selalu direspons dengan menambah mata pelajaran, itu tanda kita masih terjebak pola pikir yang keliru,” ujarnya. Menurut Ina, kurikulum pendidikan Indonesia sudah terlalu padat. Waktu belajar di sekolah terbatas, dan menambah mata pelajaran baru hanya akan membebani siswa.
Anggota Komisi X DPR, Bonnie Triyana, juga mengkritik kebijakan ini. Ia menilai Bahasa Portugis bukan bahasa pergaulan internasional ataupun akademik. “Mungkin Presiden sedang meng-entertain Presiden Lula sebagai bagian dari diplomasi,” katanya. Bonnie menilai wacana ini justru bisa memberatkan siswa, apalagi belum jelas siapa yang akan mengajar dan dari mana gurunya. Saat ini saja banyak sekolah kekurangan guru Bahasa Inggris dan fasilitas pendidikan masih memprihatinkan, terutama di pelosok. “Bagaimana mau menambah pelajaran baru kalau guru dan infrastruktur saja belum siap?” ujarnya.
Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifuddin, menekankan perlunya kajian matang sebelum kebijakan dijalankan. Menurutnya, pengajaran Bahasa Portugis harus punya dasar jelas dari sisi manfaat strategis, hubungan diplomatik, dan relevansi bagi masa depan siswa. Wakil Ketua Komisi X, Lalu Hadrian Irfani, juga menegaskan perlunya evaluasi mendalam. Dia meminta pemerintah menghitung dampak kebijakan ini terhadap kurikulum yang sudah penuh. Banyak pihak berpendapat, lebih baik fokus memperkuat pengajaran Bahasa Inggris yang sudah ada. Atau bahkan menambah Bahasa Mandarin yang lebih relevan dengan dunia kerja dan ekonomi global.
Para pengamat khawatir, kebijakan ini hanya simbolisme politik tanpa kajian akademik yang cukup. Sementara itu, masalah literasi dasar di Indonesia masih memprihatinkan. Anak-anak banyak yang kesulitan membaca dan menulis dalam Bahasa Indonesia. Jika masalah fundamental belum terselesaikan, menambah pelajaran baru justru bisa menambah beban siswa. Infrastruktur pendidikan pun belum siap, guru belum tersedia, dan anggaran terbatas. Khawatirnya, anak-anak malah jadi korban kebijakan yang “tidak matang”.
Bukan berarti belajar Bahasa Portugis itu buruk lho ya. Tapi semua harus dilakukan dengan perencanaan matang dan relevan dengan kebutuhan siswa. Kalau memang mau diajarkan, bisa dimulai sebagai kegiatan ekstrakurikuler dulu. Agar siswa yang berminat bisa belajar tanpa memberatkan yang lain. Bagaimana menurut Anda mengenai gagasan ini Pak Prabowo, tulis di kolom komentar ya!


