Seorang laki-laki paruh baya di Kabupaten Bandung dituduh melakukan penistaan agama. Laki-laki keturunan Tionghoa dan Non-Muslim itu marah-marah sambil dianggap bersikap merendahkan etnis Sunda dan agama Islam. Sebelum menilai lebih jauh, mari kita lihat dulu duduk perkaranya. Kejadian berlangsung di salah satu perumahan di Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, baru-baru ini. Dalam video yang beredar, laki-laki paruh baya berinisial THY itu didatangi seorang kurir. Dia tampak marah banget ke kurir itu, meski nggak ada penjelasan kenapa dia marah di video itu. Dia memarahi kurir itu pakai bahasa Sunda sambil menyodorkan uang Rp 100 ribu.
Kalo diartiin, begini bunyinya. “Kamu suka ke luar negerinya ke Eropa. Kamu gaul dengan Sunda lagi, gaul dengan Islam lagi. Gaul dengan Kristen jadi otakmu nggak kebuka, nggak terlalu fanatik,” katanya. “Membaca Al Quran, kamu nggak pakai otak. Dengarkan oleh bangsamu, oleh orang yang seagama denganmu, jangan nyuruh orang lain seperti saya mendengarkan Quranmu. Aku tak percaya ke Quranmu, itu tuh Quranmu, kitab suciku Tripitaka,” lanjutnya. Belakangan video THY marah-marah itu viral. Warga sekitar tersulut sama ucapan THY. Mereka pun mendatangi rumah THY sambil marah-marah. Video kejadian pada 14 Juni lalu itu sama viralnya dengan video pertama.
Dalam video kedua tampak polisi datang ke lokasi kejadian dan menenangkan situasi. Kasat Reskrim Polres Cimahi, AKP Dimas Charis Suryo Nugroho, bilang sudah memeriksa THY dan kurir. Dia juga bilang polisi lagi mendalami motif THY, termasuk kemungkinan pelanggaran pidana penistaan agama. Dari duduk perkara yang terekam di berbagai media massa ini, ada sejumlah hal yang bisa diulas. Pertama, kita masih menunggu informasi soal apa yang melatarbelakangi THY marah-marah ke kurir. Kedua, terlepas dari latar belakangnya, kemarahan THY kepada sang kurir jelas berlebihan. Sefatal apapun kesalahan sang kurir, dia nggak pantas dimarahi seperti itu.
Ketiga, kemarahan THY makin berlebihan karena dia menyinggung etnis dan agama di luar etnis dan agamanya. Diakui atau nggak, ketersinggungan etnis dan agama di Indonesia adalah sesuatu yang sensitif. Bahkan ketersinggungan itu bisa memunculkan gelombang kemarahan dan kerusuhan. Presedennya sudah banyak. Contohnya kasus seorang ibu keturunan Tionghoa non-Muslim bernama Meiliana di Tanjungbalai pada tahun 2016. Dia mengeluh ke tetangganya soal volume azan yang dianggapnya terlalu keras. Volume azan itu menurutnya membuat sakit telinganya. Hanya gara-gara keluhannya itu, massa marah dan memicu kerusuhan di Tanjungbalai. Dia bahkan dituduh melakukan penistaan agama Islam dan divonis penjara 18 bulan.
Dan jangan lupakan kasus serupa yang menimpa Ahok. Saat kunjungan armée di Pulau Seribu, Ahok meyakinkan warga nggak harus memilihnya di pilkada Jakarta 2017 hanya karena ingin program budi daya kerapu terus dilanjutkan. “Kan bisa saja dalam hati kecil bapak-ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak bapak ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, nggak apa-apa,” katanya. Potongan ucapannya ketika itu diviralkan dan memantik kemarahan Sebagian umat Islam. Ahok dituduh menistakan agama Islam dan terjadi demonstrasi besar-besaran. Belakangan Ahok divonis 2 tahun penjara.
Kembali ke kasus THY. Apakah kemarahan THY itu berniat menistakan agama Islam? Atau, kemarahannya itu cuma luapan emosi pribadi? Memang masih belum jelas. Tapi yang jelas, di negara kita label ‘penistaan agama’ itu powerful banging. Bahkan bisa jadi senjata sosial-politik seperti kasus Meiliana dan Ahok. Label itu sering disalahgunakan buat membungkam kritik, memicu aksi main hakim sendiri, dan mengabaikan keadilan. Mahkamah Konstitusi (MK) pernah mengingatkan soal bahayanya label penistaan agama ini pada 2018. Menurut MK, kasus dugaan penistaan agama harus dibuktikan secara ketat dan didasarkan pada pembuktian formal berupa rekaman asli, saksi ahli, dan konteks lengkap ucapan.
Jadi, menangani kasus dugaan penistaan agama nggak bisa sembarangan. Apalagi berdasarkan kemarahan massa. Itu namanya mobokrasi. Kita berharap kasus THY nggak berlanjut jadi kasus hukum. Kalau pun berlanjut, kita berharap kepolisian benar-benar mengedepankan hukum seperti petuah MK. Yuk, proporsional dalam bersikap!