Dokter ini biadab banget. Bayangin, dia memperkosa anak pasiennya sendiri. Nama dokter biadab itu Priguna Anugerah Pratama. Dia dokter residen anestesi dari Universitas Padjadjaran. Tragedi itu terjadi pada 18 Maret dini hari. Pelaku mendatangi korban, seorang perempuan berusia 21 tahun. Saat itu, ayahnya sedang dirawat dalam kondisi kritis di IGD Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Pelaku kasih tahu korban bahwa ayahnya membutuhkan donor darah segera. Korban jelas langsung bersedia menyumbangkan darahnya. Pelaku lalu mengajak korban ke lantai 7 gedung mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) buat menguji crossmatch atau kecocokan darah. Bukannya dibawa ke ruang transfusi, korban malah dibawa pelaku ke ruangan kosong. Di sana, pelaku menyuruh korban ganti baju operasi, pasang infus, dan disuntik Midazolam alias obat penenang. Korban pun nggak sadarkan diri. Pada saat itulah, pelaku memperkosa korban.
Tiga jam kemudian korban sadar. Dia ngerasain badannya sakit, pusing, dan ada rasa nyeri di area kemaluan. Tapi pelaku tetap santai, bahkan sempat nganterin korban balik ke ruang perawatan pasien. Korban nggak diam. Dia cerita ke keluarganya dan langsung visum. Hasilnya, ditemukan sperma di tubuhnya. Dia langsung lapor ke Polda Jabar. Polisi bergerak cepat dan menetapkan dokter biadab itu sebagai tersangka berdasarkan bukti visum dan keterangan saksi. Polisi juga menyita kondom bekas, alat suntik, hingga sarung tangan medis. Pelaku sempat mencoba bunuh diri dengan memotong nadinya sebelum akhirnya ditahan.
Pihak Rumah Sakit Hasan Sadikin langsung klarifikasi bahwa pelaku bukan pegawai tetap, tapi peserta pendidikan dari Universitas Padjadjaran. Pihak rumah sakit juga langsung keluarin pelaku dan menyerahkan kasusnya ke pihak berwajib. Universitas Padjadjaran juga bertindak. Status pendidikan pelaku langsung dicabut. Rektor Universitas Padjadjaran, Rina Indiastuti bilang, mereka akan bikin tim evaluasi buat perketat seleksi dan pengawasan residen. Kementerian Kesehatan juga nggak tinggal diam. Mereka langsung masukin nama pelaku dalam blacklist seumur hidup. Konsekuensinya, pelaku nggak bisa lanjut Pendidikan dan nggak bisa praktik lagi di Indonesia. “Ini tindakan tidak manusiawi yang mencoreng profesi kedokteran”, ucap drg. Arianti Anaya dari Kementerian Kesehatan.
Apa yang dilakukan pelaku bukan cuma kekerasan seksual. Apa yang dilakukan pelaku adalah kejahatan kemanusiaan. Bayangin, korban datang ke rumah sakit buat mendampingi dan menguatkan ayahnya. Korban juga bersedia sebagai pendonor darah buat menyelamatkan ayahnya. Tapi korban justru ditarget dan mengalami kekerasan seksual. Pelaku memanipulasi korban dengan atributnya sebagai dokter. Pelaku memanfaatkan jas dokter, fasilitas rumah sakit, dan bahkan obat penenang buat melancarkan kejahatannya. Ini jelas kejahatan kemanusiaan terencana.
Karena itu, pemecatan aja nggak cukup. Pelaku harus dihukum pidana seberat-beratnya dengan unsur pemberatan menyalahgunakan profesi. Kasus ini juga jadi alarm bahaya buat semua rumah sakit pendidikan. Gimana bisa seorang dokter residen membawa korban ke ruang kosong dan menyuntikkan korban obat, tanpa diketahui petugas atau perawat rumah sakit? Bukankah transfusi darah bukan tugas dokter anestesi? Bukankah akses ke setiap ruang di rumah sakit harus berkoordinasi dengan perawat atau dokter yang bertugas di ruangan itu? Apa yang dialami korban bukan cuma karena kebiadaban seorang dokter. Tapi juga karena sistem di rumah sakit yang longgar dan berisiko.
Jangan sampai kasus ini terulang lagi. Kita harus mengembalikan marwah rumah sakit dengan bersikap tegas kepada dokter predator seksual. Juga mengevaluasi potensi terjadinya kasus kekerasan seksual di dalam rumah sakit dan menutup celahnya. Yuk, lawan kekerasan seksual!