Cilegon, Kota Tidak Ramah Bagi Kaum Minoritas Agama

Published:

Jakarta, PIS – Kasihan nasib kaum minoritas agama di Cilegon. Hak-hak mereka beribadah ditindas. Boro-boro mendirikan rumah ibadah sendiri. Sekedar melakukan ritual Rabu Abu pun diprotes. Padahal hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin dalam konstitusi kita.

Apalagi, kaum minoritas agama itu juga ber-KTP Indonesia. Penderitaan kaum minoritas beragama di Cilegon bukan barang baru. Itu sudah berlangsung lama. Bertahun-tahun. Seorang warga berusia 76 tahun ‘terpaksa’ bolak-balik Cilegon-Serang selama 30 tahun lebih untuk mengikuti ibadah Minggu.

Dan harus menempuh jarak 20 kilometer! Jauuh bukan? Bukan hanya umat Kristen Protestan dan Katolik, umat beragama lain pun merasakan penderitaan itu. Intoleransi dan diskriminasi di Cilegon sesungguhnya anomali.

Cilegon adalah kota industri dengan Krakatau Steel sebagai primadonanya. Banyak pendatang dengan beragam latar belakang suku dan agama yang mengadu nasib di sana. Secara demografis, kaum muslim tentu mayoritas di Cilegon.

Tapi di luar itu, ada juga warga yang beragama Kristen Protestan, Katolik, Buddha, dan Hindu. Keragaman warga itu seharusnya bisa jadi modal sosial luar biasa untuk mengembangkan Cilegon.

Masalahnya, modal sosial tidak dipandang berkah oleh sebagian kelompok mayoritas. Ini diperparah lagi sikap birokrat yang tidak mau pasang badan untuk menegakkan konstitusi. Termasuk oleh lembaga yang bertugas menjadi mediasi bila terjadi konflik keagamaan: Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Maka tak heran bila Cilegon beberapa kali ditempatkan sebagai kota paling intoleran oleh Setara Institute. Di kota kamu ada nggk kejadian kayak gini?

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img