Jakarta, PIS – Anies Baswedan aneh. Masak dia tiba-tiba bilang polarisasi dalam kontestasi politik itu wajar? Dia bahkan minta masyarakat tidak khawatir akan munculnya polarisasi saat Pemilu. “Polarisasi itu jangan selalu dianggap sebagai perpecahan”, tambahnya.
Dia bahkan memberi contoh persaingan Manchester United dan Manchester City. Kedua tim itu kan mengalami polarisasi saat pertandingan berlangsung, kata Anies. Tapi begitu pertandingan selesai, semua kembali menjadi warga yang bekerja sama, tambahnya.
Anies ini menggampangkan masalah. Dalam berbagai studi, polarisasi dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi. Polarisasi itu kan berarti pengkutuban. Kalau polarisasi itu terjadi karena kebijakan sih lumayan.
Yang jadi masalah, seperti di Indonesia, polarisasinya berdasarkan agama. Jadi yang terbentuk adalah misalnya kutub Islam versus kutub non-Islam. Pembelahannya tidak rasional. Ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama.
Namun baru mendapatkan momentum pada Pemilu 2014. Pola ini kemudian terulang di Pilkada DKI 2017 dan kembali menguat pada Pemilu 2019. Polarisasi yang terjadi melahirkan kompetisi yang tidak sehat.
Masyarakat terbelah, bahkan telah membelah banyak ikatan keluarga dan teman. Identitas Islam digunakan oleh sekelompok elite untuk memobilisasi suara. Di berbagai daerah didengungkan seruan untuk tidak memilih pemimpin yang tidak seiman.
Ini benar-benar menghancurkan bangsa. Kalau sekarang Anies kembali menyuarakan politik identitas, sangat mungkin dia memang akan menggunakannya kembali menjelang 2024.
Mungkin Anies perlu belajar dari Suriah dan Yaman, bagaimana polarisasi menjadi penyebab konflik bersenjata dan perang saudara. BANGSA INDONESIA, TINGGALKAN POLITIK IDENTITAS!