Dua Guru ini Dipenjara Karena Galang Dana untuk Bantu Guru Honorer yang Tidak Dibayar Selama 10 Bulan

Published:

Kasihan banget deh nasib dua guru ini. Niatnya cuma bantu teman kerja yang gak digaji berbulan-bulan, malah dipecat dan dipenjara. Itulah yang dialami Rasnal dan Abdul Muis, dua guru di SMA Negeri 1 Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Kasus mereka bikin publik geram, karena niat baik bantu guru honorer justru dianggap pungutan liar alias pungli.

Masalahnya berawal di tahun 2017–2018. Sekolah tempat mereka ngajar punya problem klasik: gaji guru honorer macet hampir 10 bulan. Padahal, mereka tetap ngajar tiap hari, tanpa tahu kapan bakal dibayar. Secara aturan, gaji guru honorer bisa dibayar dari dana BOS atau APBD lewat kebijakan Pemda. Tapi waktu itu, dana BOS gak boleh dipakai buat gaji karena aturan juknisnya ketat, sementara Pemda belum sanggup menutupi kekurangannya. Akhirnya, guru honorer gak terima gaji sampai 10 bulan.

Melihat kondisi itu, Rasnal yang saat itu kepala sekolah dan Abdul Muis sebagai bendahara komite ngajakin orang tua murid buat gotong royong bantu para guru. Dalam rapat resmi komite sekolah, disepakati iuran Rp 20 ribu per bulan buat bantu bayar gaji guru honorer. Iuran itu bersifat sukarela, transparan, dan siswa dari keluarga kurang mampu dibebaskan dari kewajiban bayar. Program ini berjalan tiga tahun, dari 2018 sampai 2020, dan berhasil bantu banyak guru honorer bertahan hidup.

Tapi saat pandemi datang, muncul laporan dari sebuah LSM yang menuduh mereka melakukan pungli. Kasusnya akhirnya naik ke Pengadilan Tindak Pindana Korupsi Makassar. Awalnya, dua guru itu divonis bebas, karena hakim menilai gak ada niat jahat, niatnya jelas buat bantu guru lain. Tapi Jaksa banding ke Mahkamah Agung (MA), dan di tingkat kasasi, dua guru ini justru divonis bersalah: 1 tahun 2 bulan penjara dan denda Rp 50 juta. Rasnal dan Muis akhirnya menjalani hukuman mereka. Rasnal bebas pada Agustus 2024, setelah menjalani masa tahanan. Bahkan, begitu keluar, ia tetap datang ke sekolah dan ngajar lagi meski statusnya sudah tak digaji oleh Pemprov Sulsel. Sementara Abdul Muis juga sudah menyelesaikan hukumannya, meski kini sama-sama diberhentikan tidak dengan hormat.

Kepala Dinas Pendidikan Sulsel, Iqbal Nadjamuddin, bilang keputusan pemecatan itu “murni penegakan hukum ASN”. Menurut aturan, ASN yang sudah dipidana memang wajib diberhentikan. Tapi publik gak tinggal diam. DPRD Sulsel turun tangan, bilang akan memberi rekomendasi rehabilitasi nama dan hak-hak dua guru itu. “Kami menyesal baru tahu setelah kasusnya viral,” kata Wakil Ketua DPRD Sulsel, Fauzi Andi Wawo. CUTT AJA audio dan visual. Ketua PGRI, Ismaruddin juga mendukung kedua guru ini dan bilang hukuman ini gak adil. “Ada something wrong di sini, tentu saja mengusik rasa keadilan dan kemanusiaan kita semua,” ujarnya. PGRI bahkan siap ajukan grasi ke Presiden Prabowo Subianto.

Dan ternyata, respons dari Presiden Prabowo cukup cepat. Dia memerintahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) dan Mendikbudristek untuk mengkaji ulang kemungkinan rehabilitasi. “Presiden menilai kasus ini lebih pada masalah sistem pembiayaan pendidikan yang lemah, bukan kejahatan individual,” ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung. CUTT AJA audio dan visual. Kejati Sulsel juga menunda proses eksekusi administratif dan mendukung rencana Peninjauan Kembali (PK) yang sedang disiapkan tim hukum dua guru itu. Kajati Didik Farkhan bilang pihaknya akan melaporkan ke Jaksa Agung agar kasus ini diselesaikan dengan “hati nurani”.

Buat kami di Gerakan PIS, persoalan ini bukan sekadar hukum, tapi kegagalan sistem pembiayaan pendidikan nasional. Kalau sejak awal pemerintah bayar gaji guru honorer tepat waktu, gak bakal ada guru yang harus minta bantuan orang tua murid. Kalau sistemnya adil dan berpihak ke tenaga pendidik, niat baik kayak gini gak akan berubah jadi perkara pidana. Jadi, yang seharusnya disalahkan bukan Pak Rasnal dan Pak Muis, tapi sistem pembiayaan pendidikan yang bikin guru honorer terus berjuang sendirian. Sistem yang bikin rakyat harus nutup celah tanggung jawab negara, tapi malah dikriminalisasi. Bagi kami, hukum semestinya berpihak pada nurani. Solidaritas rakyat kecil seperti Pak Rasnal dan Pak Muis bukan kejahatan, tapi bukti empati masih hidup di tengah bobroknya birokrasi. Kalau negara mau menegakkan keadilan sejati, perbaiki dulu sistemnya—bukan menghukum mereka yang bertindak karena rasa kemanusiaan. Stop kriminalisasi orang kecil atas bobroknya sistem sendiri!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img