Fadli Zon Mempertanyakan Diksi ‘Massal’ Dalam Tragedi Pemerkosaan Mei 1998

Published:

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menolak diksi ‘massal’ dalam kasus pemerkosaan yang menimpa puluhan perempuan keturunan Tionghoa dalam tragedi Mei 1998. Ini disampaikannya dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI bersama Kementerian Kebudayaan pada 2 Juli lalu. Fadli mempertanyakan pemilihan diksi ‘massal’.

Dia membandingkan kasus ini dengan pembantaian warga sipil di Nanjing, China. Ketika itu, warga China yang dibunuh tentara Jepang memakan 100 sampai 200 ribu korban jiwa. Atau korban yang terbunuh saat perang yang terjadi di Bosnia mencapai 30 sampai 50 ribu jiwa. Menurutnya, diksi ‘massal’ itu mengandung makna terstruktur dan sistematis dalam sebuah peristiwa. “Saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi dan saya mengutuk dengan keras,” katanya. Tapi menurutnya sampai sekarang nggak ada bukti kuat yang mendukung klaim pemerkosaan massal secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Fadli mengaku siap berdiskusi terkait kasus pemerkosaan yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998. Fadli juga menyinggung pernyataan aktivis HAM Sidney Jones yang disebut kesulitan menemukan korban secara langsung dalam investigasinya. “Ini Majalah Tempo yang baru terbit pada waktu itu tahun 98, dibaca di sini dan bisa dikutip bagaimana mereka juga melakukan (investigasi),” katanya sambil mengangkat Majalah Tempo. “Kalau tidak salah seorang wartawannya mengatakan investigasi tiga bulan soal perkosaan massal itu, ada kesulitan. Sidney Jones mengatakan tidak ketemu satu orang pun korban,” sambungnya.

Mendengar penjelasan itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P My Esti Wijayati, menangis. “Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban pemerkosaan,” kata My Esti. Anggota Komisi X dari Fraksi PDI-P, Mercy Chriesty Barends, juga ikut emosional. “Bapak bilang TSM (terstruktur, sistematis, dan masif). Bapak bilang tidak terima yang massal. Pak, kebetulan sebagian besar itu satu etnis. Kita tidak ingin membuka sejarah kelam, tapi ini satu etnis,” kata Mercy.

“Bapak bisa baca itu testimoni yang kami bawa. Ini minta maaf sekali, sangat terganggu, apa susahnya menyampaikan? Satu kasus saja sudah banyak, lebih dari satu kasus tidak manusiawi. Minta maaf!” seru Mercy. Mendengar luapan emosi dari 2 politisi perempuan itu, Fadli menyampaikan permintaan maaf jika penjelasannya dianggap nggak sensitif.

Bahkan suasana rapat sempat heboh karena massa dari Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang ada di atas balkon menyoraki Fadli. Mereka menuntut Fadli meminta maaf kepada para korban dan meminta penghentian penulisan ulang sejarah.

Apa yang terjadi pada Mei 1998 bukan hanya soal kerusuhan dan krisis politik. Tapi juga kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa. Laporan investigatif menyebutkan adanya pemerkosaan, mutilasi, dan pembakaran hidup-hidup terhadap perempuan, terutama etnis Tionghoa. Komnas Perempuan (2000) dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat sedikitnya 85 korban kekerasan seksual, 52 di antaranya adalah pemerkosaan.

Tapi Komnas Perempuan dan TGPF meyakini angka sebenarnya bisa lebih besar. Itu karena banyak korban yang memilih diam karena trauma, takut stigma, dan minimnya perlindungan hukum. Tapi Fadli malah mempersoalkan diksi ‘massal’ yang dianggapnya sah digunakan kalo ada bukti sistematis dan dalam jumlah besar.

Mungkin Fadli berargumen atas dasar ‘presisi hukum’. Tapi pernyataannya mengabaikan aspek kemanusiaan, trauma kolektif, dan ketimpangan sistemik yang menghambat kebenaran terungkap secara formal. Istilah ‘massal’ bukan sekadar angka atau bukti. Tapi tentang pengakuan bahwa negara pernah gagal melindungi warganya.

Dan yang nggak kalah penting, politisi di Senayan jangan sekedar emosional saat rapat. Tapi juga fasilitasi para korban untuk bersuara dan mendapat ruang yang selayaknya dalam penulisan ulang sejarah kita. Yuk, berikan hak kepada korban pemerkosaan Mei 1998!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img