Gara – Gara Bangun Masjid, Pemprov Jawa Barat Harus Nyicil Utang 566 Miliar Per Tahun

Published:

Parah! Masjid Al Jabbar di Jawa Barat ternyata bukan cuma mewah nggak ketulungan, tapi juga membebani rakyat kecil. Masjid bernilai Rp 3,4 Triliun itu ternyata dibangun pakai utang. Ini ketahuan gara-gara Gubernur Jawa Barat yang baru, Deddy Mulyadi kaget dengan biaya pembangunan Al Jabbar. Dia baru tahu bahwa Pemprov harus nyicil Rp 566 miliar per tahun ke Bank sampai 2028, lalu sisanya dilunasi pada 2029. Ini kan bikin pusing sang gubernur.

Uang Rp 3,4 Triliun itu diambil dari dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Padahal utang itu sebenarnya buat banyak hal: pembangunan jalan, pengairan, air limbah, ruang terbuka hijau, dan revitalisasi pasar. Dan sekarang utang itu jadi beban kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi. Tapi pemerintah bukan cuma harus bayar cicilan utang pembangunan. Selain itu, ada pula biaya pemeliharaan masjid yang mencapai Rp 42 miliar per tahun. Jadi total, pemerintah Jawa Barat harus mengucurkan dana lebih dari Rp 600 miliar per tahun hanya buat nutup kewajiban ini.

Pembangunan masjid Al-Jabbar itu sudah sejak lama dipersoalkan. Dana proyek ini sebagian besar diambil dari APBD Jabar, totalnya Rp 1 triliun! Wajar kalau banyak yang mempertanyakan prioritas anggaran ini. Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah bilang, APBD harusnya lebih fokus ke infrastruktur. Jalan dan transportasi publik lebih krusial ketimbang membangun masjid megah, apalagi di Jabar sudah banyak masjid besar lainnya. Menurutnya, yang ideal tempat ibadah itu dibangun pakai dana umat, sedangkan kas daerah hanya menjadi stimulus aja.

Parahnya, nggak cuma soal prioritas anggaran, proyek ini juga mulai dicurigai ada indikasi korupsi. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Jabar menyoroti dugaan korupsi, dengan potensi kelebihan bayar ratusan juta rupiah. Beyond Anti Corruption (BAC) juga menemukan indikasi praktik KKN dalam proyek ini. Terutama dalam belanja lahan yang hampir mencapai Rp 450 miliar dan konstruksi yang diduga lebih dari Rp 1,2 triliun. Bahkan, ada dugaan mark-up dalam pembebasan lahan. Laporan BPK 2021 menyebut Pemprov Jabar sudah bayar Rp 23 miliar untuk 8 ribu meter persegi tanah yang ternyata belum bersertifikat. Ini membuka kemungkinan penggelembungan harga atau maladministrasi. Ini semakin menambah kontroversi Al Jabbar.

Ridwan Kamil sempat membela proyek ini, dan bilang bahwa penggunaan APBD buat rumah ibadah boleh asal disetujui eksekutif dan legislatif. Dia mengambil contoh dari pembangunan Masjid Istiqlal yang dulu juga dibiayai APBN mencapai Rp7 Miliar. Ridwan tampaknya terlalu menggampangkan masalah. Kalau masih Rp 7 Miliyar sih barangkali orang masih bisa menerima. Tapi kalau kita bicara uang Triliun rupiah yang harus dibayar dengan utang yang akan ditutup dengan dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional, ini tentu kelewatan.

Sekarang ini tidak ada pilihan bagi Dedi Mulyadi. Sebagai gubernur, ya dia terpaksa mengupayakan pengembalian utang sampai lunas. Tapi pemerintah daerah manapun perlu belajar dari kasus ini. Rumah ibadah bukanlah prioritas utama, apalagi rumah ibadah mewah dengan nilai triliun rupiah. Kesejahteraan masyarakat harus jadi prioritas anggaran pembangunan. Yuk, dukung pemimpin dan wakil rakyat yang bijak dalam menentukan skala prioritas!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img