Jakarta, PIS – Pemaksaan berjilbab marak terjadi di Indonesia, Human Rights Watch (HRW) merilis fakta mengejutkan pada 21 Juli 2022. Laporan itu berisi wawancara lebih dari 100 perempuan yang pernah mengalami intimidasi, kekerasan karena menolak memakai jilbab.
Ada 24 provinsi dari 34 provinsi di tanah air yang memaksakan siswinya berjilbab. Di sekolah-sekolah, siswi yang tidak mau berjilbab dipaksa mengundurkan diri dari sekolah. Sementara beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri.
Perundungan dan intimidasi untuk memakai jilbab juga terjadi di media sosial, misalnya Facebook. Pemaksaan serupa sama juga dilakukan melalui pesan WhatsApp. Zubaidah Djohar, penyair, dan alumnus Pesantren di Padang Panjang, Sumatra Barat, mendapat ancaman pembunuhan berupa “peracunan”. Itu terjadi setelah dia adu argumentasi teologis soal jilbab dengan Gusrizal Gazahar, Ketua Umum MUI di Sumatra Barat, pada 28 Februari 2021.
Rekannya, Deni Rahayu juga mendapat ancaman pembunuhan, kebanyakan dari anggota grup Facebook alumni sekolah. Keduanya melaporkan ancaman tersebut ke polisi, namun belum ada indikasi polisi telah melakukan penyelidikan yang berarti atas pengaduan tersebut.
HRW menyatakan Kementerian Dalam Negeri harus membatalkan berbagai keputusan daerah tersebut. Kementerian Dalam Negeri berhak membatalkan keputusan lokal yang bertentangan dengan undang-undang nasional dan konstitusi.
Pegiat Pendidikan, Henny Supolo Sitepu mengatakan, aturan wajib jilbab di sekolah negeri melanggar UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. Henny menyatakan hal itu setelah adanya surat edaran yang dikeluarkan sebuah SMP negeri di Turi, Sleman awal Juli lalu.
SMP itu mewajibkan siswi perempuan beragama Islam mengenakan jilbab. Belakangan, kata “wajib” diganti dengan “diimbau” meskipun artinya sama saja. Pemaksaan berjilbab di Indonesia sudah terlalu jauh dan harus segera dihentikan. Ayo lindungi perempuan dari pemaksaan berjilbab