Gelar haji bagi umat Islam itu sebetulnya bagian dari kerja intelijen penjajah lho. Gelar haji itu bukan bagian dari syariat Islam. Itu juga bukan gelar yang diberikan Kerajaan Arab Saudi. Gelar Haji hanya dikenal di kawasan Indonesia. Di Malaysia juga ada sih, tapi nggak sepopuler di sini. Tapi yang paling penting dicatat, secara gelar Haji adalah produk kebijakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda ketika mereka menjajah Indonesia.
Ketika itu mereka melihat, buat orang Indonesia, haji itu bukan cuma soal ibadah. Mereka melihat banyak orang yang pulang haji membawa kesadaran baru soal perjuangan melawan penjajahan. Kesadaran itu lalu disebarkan ke umat Islam di tanah air untuk menggerakan perlawanan ke pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kesadaran itu kemudian memantik pemberontakan di banyak daerah.
Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels di awal 1800-an melihat pola dan mulai curiga. Menurutnya, setiap pemberontakan terjadi, sering kali digerakkan orang yang pernah naik haji. Karena itu, mereka bikin aturan ketat buat jamaah haji. Sebelum berangkat, jamaah harus mendaftarkan diri dulu. Setelah pulang dari Mekkah, mereka wajib lapor. Mereka lalu mendapet sertifikat resmi sebagai Haji. Tujuannya bukan sebagai penghormatan ya. Tapi supaya mereka gampang diawasi.
Dari situlah awal mula gelar Haji dicantumkan di Nusantara. Sebelum kebijakan itu, mereka yang pulang setelah haji nggak pernah diberi gelar Haji. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda ini dilanjutkan ke Inggris. Gubenur Jenderal Inggris Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles secara terang-terangan menyebut orang Jawa yang pulang haji itu merepotkan pemerintah kolonial Inggris. Para Haji itu menggerakan rakyat untuk terus memberontak.
Yang menarik setelah pemerintah kolonial angkat kaki, tradisi gelar Haji nggak berhenti. Gelar Haji terus dilanggengkan sampai sekarang. Gelar Haji bahkan dianggap prestisius dan membanggakan. Tokoh masyarakat agama yang bergelar Haji dianggap bertaji dan didengarkan dibandingkan tokoh agama yang belum bergelar Haji. Nggak jarang gelar Haji sampe ditulis di dalam KTP.
Saking penting dan membanggakannya, gelar Haji juga digunakan dalam konteks politik elektoral. Coba deh cek materi kampanye para politikus muslim yang ingin menjadi kepala daerah atau anggota dewan. Hampir pasti mereka yang sudah naik haji mencantumkan gelar Haji di depan namanya. Harapan mereka, warga akan lebih memilih mereka dibandingkan calon lainnya.
Ironis ya. Dulu gelar Haji ini dibikin sebagai bagian intelejen, sekarang gelar Haji dipake untuk menjual diri. Dulu, gelar Haji sebagai tanda administratif, sekarang gelar Haji berubah jadi status sosial. Haji memang ibadah yang gak mudah bagi seorang muslim. Dibutuhkan kemampuan fisik dan finansial untuk berhaji. Karena itu, nggak semua muslim perlu berhaji.
Tapi bukan jaminan mereka yang sudah berhaji lebih baik secara moral dan spiritual dibandingkan yang belum berhaji. Jadi yang lebih penting bukanlah gelar haji. Tapi apa yang dilakukan sesudah pulang berhaji. Menonjolkan kehajian hanya akan memperlebar kesenjangan sosial antara mereka yang kaya dan yang kurang mampu. Jadi biasa-biasa sajalah. Haji dan nggak haij sama saja. Yuk beragama dengan akal sehat!