Gus Dur Layak Menjadi Pahlawan Nasional karena Warisan Kemanusiaannya

Published:

Kami, Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS), gembira mendiang Gus Dur dianugerahi gelar pahlawan nasional. Gelar kehormatan itu memang sangat layak disandang Gus Dur. Bukan karena ia pernah menjadi presiden. Melainkan karena perjuangan kemanusiaannya yang luar biasa.

KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, adalah ulama NU sekaligus mantan Presiden RI keempat. Ia dikenal gigih memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan terutama kemanusiaan. Putrinya, Alissa Wahid, menegaskan, “Gus Dur menerima penghargaan karena jejaknya sebagai pejuang demokrasi, bukan sebagai Presiden.” Keluarga datang menerima gelar itu bukan karena jabatan, tapi murni karena pengabdian Ia pada kemanusiaan.

Ada satu kisah yang menggambarkan nilai kemanusiaan Gus Dur. Tahun 2001, saat aksi besar-besaran menuntut ia lengser, ribuan santri siap mempertahankan Gus Dur sampai titik darah penghabisan. Bahkan 3.000 santri sudah siaga di Istana Negara, dan 300 ribu lainnya siap datang ke Jakarta. Awalnya, Gus Dur bersikeras mempertahankan jabatannya karena prinsip konstitusi. Tapi setelah mendengar bahwa para santri siap “syahid” demi dirinya, ia langsung berubah pikiran. “Wis, Nak, enggak ada jabatan yang layak dipertahankan dengan pertumpahan darah rakyat, kita keluar,” katanya pada keluarga. Ucapan itu menunjukkan betapa ia menempatkan nyawa manusia di atas kursi kekuasaan.

Perjuangan Gus Dur untuk kemanusiaan sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum jadi presiden. Di era Soeharto, ia berani mengkritik rezim lewat humor khasnya. Salah satunya, tentang seorang presiden tamu yang berpidato panjang. Tapi penerjemahnya hanya bilang, “Kalian harus ketawa karena presiden sedang melucu, yang tidak ketawa dihukum.” Humor itu sindiran halus pada masyarakat yang terlalu patuh tanpa berpikir kritis.

Begitu menjabat sebagai presiden, Gus Dur langsung membuat terobosan besar. Pada 17 Januari 2000, ia mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang perayaan agama dan adat etnis Tionghoa di ruang publik. Sejak saat itu, masyarakat Tionghoa bisa merayakan Imlek secara terbuka. Langkah berani ini jadi tonggak penting bagi pluralisme dan kebebasan beragama di Indonesia. Karena itu, ia dikenal sebagai “Bapak Pluralisme” dan pembela kaum minoritas.

Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 dan dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang. Di nisannya tertulis kalimat menyentuh. “Di Sini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan,” dalam empat bahasa, Indonesia, Arab, Inggris, dan Mandarin. Empat bahasa itu melambangkan semangat inklusif Gus Dur yang merangkul semua tanpa pandang latar belakang.

Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur ditetapkan lewat Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025. Narator Istana nyebut, semasa hidupnya, Gus Dur memperjuangkan kemanusiaan, demokrasi, dan pluralisme. Dalam upacara itu hadir istrinya, Nyai Sinta Nuriyah, dan putri ketiganya, Yenny Wahid. “Bagi banyak orang, ia tokoh bangsa. Bagi saya, ia ayah yang mengajarkan arti keberanian membela yang lemah,” kata Yenny. Ia juga menegaskan, Gus Dur tidak pernah berjuang demi gelar atau penghargaan, tapi karena panggilan nurani.

Sepanjang hidupnya, Gus Dur menolak diskriminasi dan memperjuangkan kebebasan beragama. Ia mengajarkan bahwa beragama harus dengan keterbukaan, toleransi, dan sikap kritis. “Islam itu agama rahmat,” kata Gus Dur, “bukan agama yang menghakimi atau mengucilkan orang lain.” Warisan terbesar Gus Dur bukan hanya dalam sejarah, tapi dalam cara kita memperlakukan sesama dengan kasih dan keadilan.

Di tengah situasi Indonesia yang masih sering diwarnai intoleransi, teladan Gus Dur terasa makin relevan. Dia menunjukkan bahwa kita bisa tetap tegas pada prinsip, tapi lembut pada manusia. Jadi, gelar Pahlawan Nasional untuk Gus Dur bukan sekadar penghargaan formal aja. Tapi juga pengakuan bangsa terhadap perjuangan seorang ulama yang berani tampil beda di zamannya. Semoga teladan Gus Dur terus hidup dalam setiap langkah kita untuk menjaga kemanusiaan dan persaudaraan di Indonesia ya!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img