Kasus Pemerkosaan Dokter Residen RSHS Bandung Tidak Bisa Selesai Dengan Damai!

Published:

Inget ya, dalam kasus pemerkosaan gak ada yang namanya perdamaian! Tidak segampang apa yang dilakukan Priguna Anugerah Pratama (PAP). Mantan dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung itu mengaku sudah berdamai dengan korban pemerkosaannya. Hal ini disampaikan kuasa hukum PAP, Fredy Rizky Adilya. Bahkan katanya laporan polisi atas kasus pemerkosaan udah dicabut. PAP juga meminta maaf kepada korban, keluarga dan masyarakat atas perbuatannya. Pihaknya juga minta untuk nggak menghakimi dan sebarluasin identitas PAP dan keluarganya.

Tanggepin isu perdamaian ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) langsung mengecam pihak PAP. Menurut mereka, kasus ini gak bakal berhenti disini aja. Sesuai dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual No. 12 Tahun 2022, kekerasan seksual gak bisa diselesaikan di luar pengadilan, kecuali pelakunya anak-anak. Dan Priguna jelas bukan anak-anak, dia dokter dewasa yang tahu apa yang dia lakuin. ICJR juga bilang, proses “perdamaian” yang katanya udah terjadi itu gak akuntabel. Gak ada pemantauan independen, gak jelas apa korban bener-bener bebas dari tekanan, dan kondisi psikologis korban juga gak dipertimbangkan. Intinya: gak valid dan gak etis.

Mirisnya, kabar perdamaian ini muncul bersamaan dengan fakta baru, alias korban bukan hanya satu, tapi melainkan 3 orang. Semuanya perempuan muda, dua pasien dan satu keluarga pasien. Semua kejadian dilakukan di tempat yang sama, dalam seminggu. Kasus ini awalnya muncul dari laporan korban berinisial FH, 21 tahun. Dia ngikutin arahan Priguna yang ingin lakuin transfusi darah karena pasien yang merupakan ayah korban membutuhkan donor darah. Tapi korban malah disuntik anestesi, otomatis FH langsung pingsan dan… ya, bangun dengan kondisi udah jadi korban pemerkosaan.

Dirkrimum Polda Jabar, Kombes Surawan jelasin kejadian pada dua korban yang baru muncul, terjadi pada tanggal 10 Maret dan 16 Maret. Barulah setelahnya FH menjadi korban setelah diperkosa pada tanggal 18 Maret. “Modus sama dengan dalih akan melakukan anestesi dan kedua akan melakukan uji alergi terhadap obat bius,” ucap Surawan. Surawan bilang, pengakuan terbaru dua korban ini bikin PAP dapetin hukuman tambahan. Sekaligus membantah pengakuan pelaku yang mengaku baru pertama melakukan itu.

Kabarnya, Menteri Kesehatan lagi bekukan sementara Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Unpad di RSHS buat evaluasi. Di lain sisi, makin banyak pihak yang buka suara. Anggota Komisi IX DPR, Ashabul Kahfi Yang bilang ini masalah serius dan bahkan curiga masih ada korban lain yang belum berani ngomong. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi juga bilang ini bukan soal damai, tapi soal kepercayaan publik ke institusi kedokteran.

Dan ya, kita semua harus setuju: ini bukan sekadar kasus personal. Ini sinyal bahaya kalau sistem pengawasan di rumah sakit dan pendidikan dokter tuh bolong banget. Gimana bisa dokter yang seharusnya jadi penjaga nyawa, eh tanpa pengawasan malah jadi predator? Intinya: jangan pernah normalisasi “perdamaian” di kasus kekerasan seksual. Ini bukan konflik biasa, ini kejahatan berat. Dan siapapun pelakunya, mau dokter, dosen, atau public figure, harus dihukum setegas-tegasnya. Gak ada ruang aman buat predator. Gak ada pengampunan lewat minta maaf atau mediasi. Dan yang paling penting: suara korban harus selalu jadi prioritas, bukan reputasi pelaku. Yuk, lawan kekerasan seksual!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img