Kementerian Sosial (Kemensos) tetep masukin nama Presiden ke-2 RI, Soeharto, dalam daftar calon penerima gelar Pahlawan Nasional yang dikirim ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Keputusan ini langsung bikin heboh dan disesalkan banyak pihak, terutama dari kelompok masyarakat sipil. Mereka ngerasa, audiensi dan penolakan yang udah disampaikan sebelumnya ke Kemensos kayak gak dihiraukan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, bilang pengusulan ini kental banget nuansa politiknya. Apalagi karena Presiden sekarang, Prabowo Subianto, adalah mantan menantu Soeharto. Menurut dia, ngasih gelar pahlawan ke Soeharto tuh nggak pantas, apalagi dengan rekam jejak pelanggaran HAM yang panjang. Apalagi Penunjukan Fadli Zon sebagai Ketua Dewan GTK makin bikin publik curiga prosesnya bisa “diatur” biar Soeharto lolos. Maklum, Fadli dikenal deket sama Presiden Prabowo dan juga punya hubungan historis sama Golkar, partainya Orde Baru.
Padahal, kelompok masyarakat sipil ini udah sempat dialog sama Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) tanggal 15 Mei 2025. Dalam pertemuan itu yang hadir: Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GEMAS), Amnesty International Indonesia, KontraS, korban peristiwa 1965, akademisi, dan aktivis lainnya. Mereka bahkan udah kasih surat terbuka yang ditandatangani lebih dari 100 tokoh dan lembaga yang tegas menolak Soeharto dijadiin pahlawan nasional. Alasannya jelas: usulan ini dianggap melanggar UU No. 20 Tahun 2009, yang melarang pemberian gelar pahlawan buat orang dengan catatan pelanggaran HAM. Infonya, usulan itu, bakal dibahas lagi oleh tujuh anggota tim Dewan Gelar.
Gara-gara kontroversi ini, nama Presiden Prabowo ikut terseret dan diserang. Buat info aja, usulan nama Soeharto jadi pahlawan tuh sebenernya bukan hal baru, sejak tahun 2010 dan 2015, nama Soeharto udah beberapa kali diusulin. Tapi waktu itu pemerintah pusat batalin karena banyak penolakan publik dan kontroversi soal pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Nah, di bulan Maret 2025, Kemensos lewat Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) lagi-lagi masukin nama Soeharto ke daftar tokoh yang dikaji buat dapat gelar pahlawan.
Terus di 23 April 2025, Menteri Sosial (Mensos) Gus Ipul konfirmasi kalau nama Soeharto emang resmi masuk daftar calon yang dikirim ke Dewan GTK. Tapi bukan cuma Soeharto aja, total ada 10 nama tokoh yang diusulin waktu itu—6 usulan lama, 4 usulan baru. Lalu di Oktober 2025, infonya ya, jumlahnya nambah jadi 40 nama yang dikirim ke Dewan GTK, dan Soeharto tetap ada di dalamnya. Gus Ipul bilang, ini bukan keputusan pribadi Kemensos, tapi murni usulan dari daerah yang diteruskan ke pusat buat dikaji Dewan Gelar. Pemerintah beralasan, Soeharto dianggap punya jasa di bidang militer, terutama dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, dan juga di pembangunan nasional.
Tapi begitu kabar itu naik ke publik, langsung deh muncul gelombang penolakan besar-besaran dari berbagai organisasi HAM dan masyarakat sipil. KontraS bahkan ngeluarin pernyataan resmi berjudul “Penjahat Tidak Layak Diberi Gelar Pahlawan” pada 10 April 2025. Mereka menyoroti pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru, mulai dari tragedi 1965–66, Timor Timur, Aceh, sampai Papua. KontraS juga nyenggol soal korupsi, kolusi, dan nepotisme yang tumbuh subur di era Soeharto. Amnesty International Indonesia bilang, usulan ini “mencederai amanat reformasi” dan mengabaikan penderitaan korban pelanggaran HAM. GEMAS (Gerakan Masyarakat Adili Soeharto) nyerahin surat penolakan resmi ke Kemensos—ditandatangani lebih dari 100 tokoh dan lembaga masyarakat.
Tapi, walau ditolak sana-sini Kemensos tetap jalan terus dan tetap masukin nama Soeharto ke daftar yang dikirim ke Dewan GTK. Karena itu, KontraS curiga ada unsur politik karena Soeharto mantan mertuanya Presiden Prabowo. Padahal yaa kayak yang udah dijelasin Kemensos, pengusulan ini datang dari daerah, bukan dari Presiden Prabowo pribadi atau pemerintah pusat. Jadi kalau sekarang banyak yang langsung nyalahin Presiden Prabowo, rasanya kurang adil juga.
Keliatannya semua ini kayak digerakkan dari atas, padahal mekanisme pengusulan gelar pahlawan itu emang terbuka—siapa pun bisa ngajuin lewat jalur daerah. Kami di PIS juga nggak setuju kalau Pak Soeharto diberi gelar pahlawan nasional. Setelah semua catatan pelanggaran dan luka yang ditinggalkan di masa pemerintahannya, gelar itu rasanya nggak pantas diberikan. Tapi ya, dalam menyikapi isu ini, mari kita tetap proporsional dan objektif. Jangan sampai debat sejarah ini malah dipelintir jadi serangan politik ke orang yang bahkan gak ngusulin. Yuk proporsional dalam bersikap!


