Kasus pemerkosaan massal pada perempuan-perempuan Tionghoa tahun 1998 itu nyata atau rumor? Kalau itu ditanyakan ke Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, dia bilang itu rumor! Dia bilang begitu dalam sesi wawancara di YouTube IDN Times pada 11 Juni lalu. “Pemerkosaan massal kata siapa? Enggak pernah ada buktinya,” katanya. “Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan,” lanjutnya.
Buat mendukung opininya, Fadli ngungkit pertemuannya dengan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang ungkap kesaksian dan bukti pemerkosaan di tahun itu. Dia ngeklaim dirinya membantah kasus itu dan TGPF nggak bisa membuktikan peristiwa itu secara konkrit. Btw, statement Fadli ini ada korelasinya sama proses penulisan ulang sejarah Indonesia yang bakal rampung di Agustus nanti. Tepatnya pada 17 Agustus persis di Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.
Dalam draf penulisan itu, kasus pemerkosaan massal ini masuk ke dalam pelanggaran HAM berat yang ternyata bakal dihapus. Selain kasus pemerkosaan perempuan Tionghoa, ada 5 kasus pelanggaran HAM berat yang nggak dimasukin dari buku sejarah Indonesia. Yaitu, penembakan misterius (Petrus). Penghilangan paksa aktivis 1997-1998. Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II. Kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua. Terakhir, pembantaian massal 1965.
Ini kontras sama pengakuan resmi dari Presiden Jokowi bahwa kasus pemerkosaan massal 1998 termasuk pelanggaran HAM berat pada Januari 2023. Bahkan dalam pengakuan resmi itu disebutkan korban berhak atas pemulihan. TGPF yang dibentuk setelah tragedi Mei pernah melaporkan temuan mereka. Ada 52 korban perkosaan. Rinciannya, 14 korban diperkosa sambil dianiaya, 10 korban penyerangan seksual dan 9 korban pelecehan seksual. Mayoritas kasusnya terjadi di rumah-rumah, toko, bahkan di jalan. Bahkan banyak yang dilakukan secara gang rape.
Itu bukan angka karangan. Semua itu hasil investigasi terverifikasi. Bahkan Pelapor Khusus PBB, Radhika Coomaraswamy, datang langsung ke Indonesia dan bertemu korban. Radhika bilang apa yang diungkap itu bukan rumor. Dia justru melihat ada semacam budaya penyangkalan dalam kasus ini. Kesaksian lain juga datang dari dokter spesialis, Lie A. Dharmawan, yang turun langsung merawat korban. Salah satu pasiennya mengalami luka di paha, dada, wajah, dan pendarahan hebat di area genital. Korban juga mengalami trauma psikis berat dan gangguan jiwa.
Banyak pihak yang mengecam upaya Fadli menghapus sejarah kelam ini. Aktivis HAM, Kamala Chandrakirana bilang, Fadli lagi nunjukin dia bagian dari budaya penyangkalan, bukan cuma salah bicara. Aktivis Ita Fatia Nadia, justru ingetin kasus ini yang mendorong Presiden Habibie setuju membentuk Komnas Perempuan. Itu karena Pak Habibie percaya, kasus itu memang terjadi dan perlu lembaga untuk melindungi perempuan ke depan.
Tapi di sisi lain, ada banyak pihak juga yang ragu karena kurangnya bukti visual atau korban yang tampil terbuka. Tokoh seperti Sabam Siagian dan Mochtar Lubis pernah menyerukan agar klaim ini diuji secara hati-hati. Mereka khawatir isu ini disalahgunakan secara politis. Tapi masalahnya, keraguan ini seringkali mengabaikan kenyataan: korban takut, trauma, dan merasa nggak akan aman kalau bersaksi. Itu yang bikin pembuktian hukum jadi sulit.
Banyak pihak netral, termasuk lembaga HAM dalam dan luar negeri, menganggap laporan soal kekerasan seksual ini kredibel. Skalanya mungkin masih diperdebatkan, tapi peristiwanya harus diakui terjadi secara nyata. Fadli mengklaim ucapan itu buat membuka diskusi lebih lanjut. Masalahnya, ucapan Fadli itu juga bisa menafikan suara korban.
Kita butuh buku sejarah yang jujur dan memberi ruang bagi suara korban. Bukan buku sejarah yang tampak baik-baik saja, tapi merepresi suara korban. Bukankah buku sejarah dibutuhkan agar kita belajar dari masa lalu, sepahit apapun masa lalu itu? Mungkin kutipan dari Nelson Mandela yang terkenal ini bisa mengingatkan kita semua: “Forgive, but not forget”. Stop budaya penyangkalan dalam buku Sejarah Indonesia!