Nama Zohran Mamdani masih terus jadi pusat perhatian. Dia ini kan Walikota Muslim pertama yang baru dilantik di New York. Nah sekarang nama dia kembali banyak dibicarakan bukan karena agamanya, tapi karena dia diketahui adalah musim Syiah yang pro LGBT dan membela prostitusi.
Akibatnya, Mamdani sekarang diserang banyak penolakan dari sebagian komunitas Muslim di AS. Banyak kelompok Muslim yang bilang ‘Ini bukan representasi Islam yang sebenarnya’. Bahkan muncul gerakan bernama “Muslims Against Mamdani”. Gerakan ini semacam kampanye online yang isinya menolak klaim Mamdani sebagai “wakil Muslim Amerika”.
Sebenarnya, sejak lama Mamdani udah terkenal dengan sikap-sikap progresifnya. Dia vokal banget soal dukungan terhadap komunitas LGBTQ+, ngedukung legalisasi pekerja seks, dan sering ngomong soal pluralisme agama. Bagi sebagian orang Amerika, itu dianggap keren dan progresif. Tapi bagi banyak Muslim di sana, itu dianggap keluar dari nilai-nilai Islam.
Di media sosial, komentarnya pun campur aduk. Ada yang bilang: “Dia Muslim cuma di nama”. Tapi ada juga yang ngebela dengan bilang: “Dia cuma pengen Islam tampil terbuka dan relevan di masyarakat modern.” Yang bikin makin rame, Mamdani juga sering hadir di acara komunitas queer Muslim.
Komunitas ini adalah kelompok Muslim yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari komunitas LGBTQ+ tapi tetap ingin mempertahankan identitas keislamannya. Mereka berusaha menunjukkan bahwa orientasi seksual atau identitas gender gak harus bikin seseorang kehilangan haknya untuk beriman dan beribadah. Kehadiran Mamdani di ruang-ruang seperti ini masih dianggap tabu banget, bahkan di kalangan Muslim liberal Amerika sendiri.
Dan gak berhenti di situ, beberapa jurnalis dan aktivis Muslim bilang, gerakan Muslims Against Mamdani ini juga punya sisi politik. Mereka menuduh ada upaya dari kelompok konservatif dan sayap kanan untuk “menggunakan isu agama” demi menjatuhkan sosok progresif kayak Mamdani. Jadi, antara agama dan politik di sini benar-benar kabur batasnya.
Tapi dari sisi lain, kontroversi ini juga ngasih gambaran soal realitas Muslim di negara Barat: mereka gak seragam. Ada yang liberal banget, ada yang konservatif, ada juga yang berusaha di tengah-tengah. Dan perdebatan kayak gini sering muncul setiap kali ada tokoh Muslim naik ke posisi penting.
Sebenarnya, Mamdani sendiri gak pernah ngaku mau jadi “wakil Muslim”. “Aku bukan di sini buat mewakili agama, tapi buat memperjuangkan keadilan sosial”, ucap Mamdani di salah satu wawancaranya. Tapi ya, namanya juga publik — begitu identitas agama disorot, ekspektasi langsung muncul. Nah, di bagian ini, banyak yang bilang: “Kalau dia Muslim, harusnya gak dukung LGBT atau prostitusi”.
Tapi kelompok progresif ngebalas, “Justru nilai keadilan dalam Islam itu bisa diterjemahkan ke dukungan pada kelompok tertindas, termasuk LGBT.” Dua sisi ini gak akan ketemu, dan itulah yang bikin debat soal Mamdani terus berputar.
Kalau dilihat dari luar, ini bukan cuma soal “Muslim pro-LGBT”. Tapi juga tentang bagaimana identitas agama bisa jadi alat politik, baik buat yang mendukung maupun yang menentang. Di satu sisi, ini nunjukin citra inklusif Amerika — bahwa Muslim bisa memimpin kota besar. Tapi di sisi lain, masyarakat Muslimnya sendiri masih berdebat soal batas nilai-nilai agama di ruang publik modern.
Dari perspektif kami di Gerakan PIS, posisi Mamdani menarik karena dia menggeser cara pandang lama tentang apa artinya jadi Muslim di ruang publik modern. Kami percaya, dukungan terhadap LGBT dan pembelaan terhadap pekerja seks bukan bentuk penyimpangan dari nilai Islam. Tapi justru bagian dari perjuangan menegakkan keadilan sosial dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Islam mengajarkan kasih sayang, bukan penghakiman. Jadi, kita gak harus sepakat selalu sama semua pilihan Mamdani. Tapi penting untuk mengakui keberaniannya membuka ruang dialog. Karena ujian sebenarnya bukan di posisi Mamdani, tapi di cara kita, sebagai sesama manusia, menyikapi perbedaan dengan kepala dingin dan hati terbuka.


