Jakarta, PIS – Oleh : Ade Armando
Saya baru saja dikirimi sebuah cerita menggetarkan tentang seorang gadis kecil berusia 7 tahun, kelas 2 sebuah SD Negeri, beragama Kristen. Sebut saja namanya Yuni. Gadis itu bertanya pada bundanya, apakah dia masih bisa bermain dengan kawan-kawan-kawannya di sekolah.
Dia bertanya begitu karena dia sering dikata-katai bahkan dihindari oleh teman-temannya. Alasan utamanya cuma satu. Ia dianggap berbeda karena dia bukan beragama Islam.
Dengan sabar sang ibu menyarankan agar Yuni mencari anak-anak lain di kelas yang mau bermain dengannya. Hindari atau pindah duduk dari teman yang mengata-ngatai. Yuni kemudian bilang bahwa dia menangis di sekolah. Kenapa, tanya sang bunda khawatir.
Yuni bercerita, teman-temannya ramai-ramai bilang dia tidak ikutan sholat, tidak pakai mukena, tidak pakai jilbab, dia Kristen. Bunda bertanya, apakah Bu Guru tahu. Kata Yuni, semula Bu Guru tidak tahu karena dia berada di luar kelas. Tapi karena dia terus dibully, Yuni akhirnya melapor peristiwa yang menimpanya ke guru di luar kelas.
Dia bilang, yang paling keras mengejeknya adalah tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki. Akibat laporan itu, anak-anak yang membullynya dipanggil guru dan dinasehati macam-macam. Seusai peristiwa itu, kabarnya terjadi perubahan. Anak-anak itu tidak lagi mengulang perbuatannya.
Namun sang bunda tetap merasa khawatir. Karena itu, Yuni dinasehati. Kalau kembali dibully, Yuni dianjurkan untuk melapor ke guru atau ke orang tua. Kalau dibiarkan, kata ibunya, akan makin menjadi-jadi.
Yuni bertanya pada ibunya, apakah di waktu kecil juga punya teman-teman nakal semacam itu. Sang ibu bercerita, bahwa dulu ketika di SD, yang jadi bahan ejekan bukanlah perkara agama, tapi fisik, seperti kurus, kerempeng.
Buat saya ini cerita menyedihkan. Saya membayangkan betapa sulitnya hidup sebagai anak usia 7 tahun dalam kondisi semacam itu. Saya juga membayangkan betapa beratnya menjadi ibu yang anaknya harus mengalami penderitaan semacam ini
Si Ibu bercerita bahwa tiap Jumat pagi, dia akan mengantar Yuni terlambat 45 menit hingga 1 jam. Masalahnya, di Jumat pagi ada pelajaran sholat bersama atau semacamnya. Jadi agar Yuni tidak kesepian dan tidak dibully karena tidak ikut acara sholat bersama itu, sang Bunda memilih mengantar dia terlambat.
Ini sama sekali tak boleh dibiarkan. Teman-teman Yuni baru berusia 7-8 tahun tapi di kepala mereka sudah ada konsepsi bahwa orang Kristen berbeda dan layak dihina. Mereka sudah punya gagasan bahwa mereka yang berbeda keyakinan dengan mereka, layak diolok-olok.
Ada konsep tentang ‘kita’ dan ‘mereka’. Kita adalah orang Islam. Mereka adalah orang non-Islam. Pertanyaannya: siapakah orang-orang yang menanamkan ide itu kedalam benak mereka?
Saya duga jawabannya adalah lingkungan. Ini bisa berarti orangtua, keluarga, tetangga. Dan itu dilakukan bukan cuma oleh satu dua anak. Ada banyak anak yang ramai-ramai membully Yuni. Artinya walau dengan latar belakang keluarga berbeda, mereka memperoleh pendidikan dan sosialisasi yang sama. Dan ini terjadi di Sekolah Dasar Negeri. Bukan di sekolah islam.
Ibu Yuni juga bercerita bahwa pembullyan anaknya sudah berlangsung cukup lama. Ini artinya perilaku ini tidak memperoleh perhatian cukup dari para guru. Tidakkah para guru, kepala sekolah, guru agama, mengamati pola pergaulan anak-anak didik mereka?
Bagaimana mungkin mereka tidak tahu bahwa di antara murid-murid mereka terjadi kekejaman secara terus menerus. Ini semua bisa terjadi karena ketidakpedulian guru. Atau bahkan barangkali saja ada guru-guru agama yang justru mengompori kebencian itu. Misalnya dengan mengatakan, orang-orang Kristen adalah kaum yang berbeda dengan kaum muslim. Atau barangkali dengan mengajarkan bahwa umat Kristen adalah musuh bagi umat umat Kristen.
Menjadi anak-anak Kristen yang harus bersekolah bersama anak-anak muslim berpikiran sempit semacam itu adalah penderitaan luar biasa. Yuni baru duduk di kelas 2 SD. Sangat mungkin dia harus terus menerus mengalami pembullyan sepanjang dia bersekolah di SD Negeri itu.
Bayangkan, apa yang ada di kepala Yuni setiap kali dia akan berangkat bersekolah. Apakah dia bisa mengadu kepada orangtuanya setiap kali dia diolok-olok. Apakah dia bisa mengadu kepada gurunya?
Bersekolah seharusnya menjadi pengalaman hidup yang menyenangkan. Mereka belajar, bermain, berteman. Mereka seharusnya tidak perlu menjalani pengalaman buruk, seperti dikucilkan hanya karena agama.
Apa yang harus dilakukan? Saya percaya sekolah-sekolah di Indonesia, harus dipaksa untuk menjalankan nilai-nilai kebangsaan, persaudaraan, kekeluargaan antar sesama warga. Sekolah harus mengajarkan bahwa perbedaan agama, warna kulit, ras, etnik adalah hal-hal yang harus dirayakan.
Anak-anak sekolah Indonesia harus diajarkan untuk saling menyayangi, apapun latar belakangnya. Bahkan melihat konteks Indonesia saat ini, pelajaran nilai-nilai kebangsaan harua diprioritaskan di atas mata pelajaran lainnya. Karena itu, yang harus dilakukan pertama-tama adalah perubahan kurikulum Pendidikan.
Masukkan ajaran-ajaran tentang kebangsaan di kurikulum Pendidikan sejak awal. Bukan dengan cara berkhotbah. Melainkan dengan cara yang penuh rileks, menyenangkan dan penuh dengan teladan.
Sekadar mengajarkan, tidak cukup untuk mencegah perilaku-perilaku diskriminatif. Perlu ada pengawasan terus menerus tentang kondisi Pendidikan masing-masing sekolah di seluruh Indonesia. Pemerintah perlu membuka hotline untuk menampung laporan-laporan peristiwa seperti yang terjadi pada Yuni. Para orangtua harus tahu kemana mereka akan melapor.
Indonesia sungguh tidak beradab bila membiarkan praktek-praktek penindasan anak ini terus terjadi. Masyarakat juga harus bersama-sama melakukan respons tatkala kasus semacam Yuni terjadi.
Jangan terus didiamkan!