Jakarta, PIS – Kasus kekerasan seksual makin sering terjadi di pesantren. Bukan cuma pesantren Shiddiqiyyah di Jombang, lho. Kementerian Agama melansir laporan kasus kekerasan seksual terjadi di 11 pesantren lainnya pada Februari lalu.
Kok bisa ya? Kan lembaga pendidikan berbasis agama? Kasus kekerasan seksual di pesantren secara umum selalu terkait dengan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku umumnya orang yang dianggap terpandang di lingkungan pesantren.
Biasanya kiai, pemilik pesantren, ustadz, maupun anak kiai. Sementara korban adalah orang yang rentan di lingkungan pesantren. Dalam konteks kekerasan seksual, umumnya para santriwati.
Pola ini sebenarnya tidak khas di dunia pesantren. Di lembaga pendidikan lain juga berlaku pola serupa. Misalnya, kasus kekerasan seksual yang dilakukan dosen atau petinggi kampus terhadap mahasiswinya.
Tapi, ada hal lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lain. Di lingkungan pesantren ada prinsip ‘kepatuhan total’. Prinsip ini menekankan kepatuhan seorang santri kepada kiai dan para pembantunya.
Tentu saja prinsip ini bagus. Tapi, prinsip ini sering jadi celah dan disalahgunakan. Dan yang juga ikut bertanggungjawab adalah sikap orangtua. Ada kecenderungan orangtua merasa aman jika anak perempuannya masuk pesantren.
Seolah lingkungan pesantren diisi oleh orang baik semua. Akibatnya, orangtua cenderung tidak mawas diri dan permisif. Sudah saatnya pesantren menciptakan lingkungan yang aman dari kekerasan seksual. YUK..JANGAN BIARKAN KEKERASAN SEKSUAL IDENTIK DENGAN PESANTREN.