Marsinah, buruh perempuan yang dibunuh karena memperjuangkan keadilan, baru aja dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Tapi di saat yang sama, Soeharto — presiden di masa Marsinah dibunuh juga mendapat gelar yang sama. Situasi itu bikin banyak pihak bertanya, kok bisa korban pelanggaran HAM diberi penghargaan. Di saat yang sama pemimpin rezim saat pelanggaran itu terjadi, juga ikut dianugerahi sebagai pahlawan.
Jadi, Senin 10 November kemarin, Presiden Prabowo Subianto resmi menyerahkan gelar Pahlawan Nasional ke sepuluh tokoh dari berbagai latar belakang. Salah satunya adalah Marsinah. Marsinah adalah aktivis buruh, lahir di Nganjuk, 10 April 1969, dari keluarga petani sederhana. Setelah lulus SMA Muhammadiyah, ia bekerja di pabrik jam tangan PT Catur Putra Surya di Sidoarjo. Di sana, dia dikenal vokal dan berani memperjuangkan hak-hak buruh.
Awal Mei 1993, Marsinah memimpin aksi mogok kerja menuntut kenaikan upah sesuai keputusan gubernur Jawa Timur. Tapi keberaniannya berujung tragis. Setelah aksi, Marsinah hilang dan jasadnya ditemukan 3 hari kemudian di Nganjuk dengan luka-luka mengenaskan. Kasus ini dianggap sebagai simbol kekerasan negara terhadap buruh dan perempuan. Mirisnya, sampai sekarang, pelakunya belum juga dihukum. Presiden Prabowo menyebut penghargaan ini sebagai “hadiah bagi kaum buruh.”
Tapi bagi banyak orang, terutama keluarga korban dan aktivis HAM, hadiah ini terasa pahit. Karena Soeharto, sosok yang dianggap represif saat memimpin rezim Orde Baru, juga diberikan gelar pahlawan. Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut langkah itu berpotensi mengaburkan batas antara kebenaran dan keburukan dalam sejarah bangsa. “Menyandingkan Soeharto dan Marsinah sebagai pahlawan nasional adalah suatu bentuk pengaburan nilai-nilai moral dan politik”. “Mengaburkan apa yang baik dan buruk, yang salah dan benar, yang etik dan tidak,” tegasnya.
Irham Ali Saifuddin, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia mengapresiasi penghargaan terhadap Marsinah. Menurutnya Marsinah adalah gambaran komplit tentang kepahlawanan rakyat kecil di masa Orde Baru. Tapi dia juga menyesalkan pemberian gelar terhadap Soeharto. Karena sebagian yang ditangkap pada masa Orde Baru masih hilang hingga sekarang.
Jauh sebelum penyerahan gelar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang juga menyebut keputusan ini “mengabaikan keadilan korban”. Karena penghormatan tanpa penuntasan kasus sama saja membuat luka lama menganga tanpa penyembuhan. Bagi banyak orang, keputusan ini seperti menaruh pelaku dan korban di panggung yang sama. Menyamakan keduanya berarti menghapus garis moral antara yang memperjuangkan keadilan dan yang menindasnya.
Negara seakan-akan “mengakui korban,” tapi di saat yang sama juga “memuliakan penguasa yang melahirkan luka itu”. Memberikan gelar kepada Marsinah adalah langkah yang layak diapresiasi. Tapi yang mesti diingat, penghormatan jangan berhenti dengan sekedar memberikan gelar pahlawan. Karena yang lebih penting adalah penuntasan kasus yang menimpa Marsinah. Dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang masih berjalan sampai sekarang. Juga memastikan agar gak ada lagi perempuan yang harus gugur saat sedang memperjuangkan keadilan. Semoga kita selalu terinspirasi Marsinah untuk terus memperjuangkan keadilan!


