Kok Pesantren Jadi Tempat Ngumpul Anak-Anak Nakal?

Published:

Banyaknya kekerasan dan pelecehan seksual di pesantren emang bukan isapan jempol. Fenomena itu juga dibenarkan oleh dua ustad muda yang saat ini lagi populer di kalangan anak muda, Risyad Baya’sud dan Agam Fachrul. Ini dia sampaikan dalam podcastnya bersama Denny Sumargo, yang berjudul: *Ustad Muda Cuma Jual Tampang? Banyak Kasus Pesantren Ttg Bully, Seks, Kekerasan, Mau Sampai Kapan?*

Menurut Risyad, fenomena itu memang ada, tapi sebenarnya itu dilakukan oknum saja dan bukan visi dari pesantren. Nah hal itu terjadi, kata Risyad karena banyak kesalahan orang tua dalam mempersepsikan pesantren. Menurut Risyad, ada stigma di masyarakat kalau anak yang nakal ya obatnya dimasukin pesantren. “Akhirnya pesantren seperti jadi sarang hukuman, jadi akhirnya penjahat-penjahatnya ada di situ semua,” ujarnya. Harapan orang tua, setelah dimasukkan pesantren anaknya akan tobat, memperbaiki perilakunya. Tapi kenyataannya, bisa tidak, malah mereka yang bikin masalah. “Harapannya tobat, malah di situ dia siram cabai, tahu-tahu melakukan kekerasan,” ucapnya. Dengan stigma itu juga, banyak orang tua yang gak mau anaknya yang baik-baik saja dimasukin pesantren. “Yang nakal-nakal dimasukin pesantren, yang baik-baik mereka rawat sendiri,” ucapnya lagi.

Sementara menurut Agam, pesantren emang bukan jaminan anak-anaknya baik semua. Di pesantren, celah untuk membuat kebaikan besar, tapi untuk melakukan kejahatan juga sama besarnya. “Di pesantren itu, celah membuat kebaikan dan kejahatan seimbang, untuk buat kebaikan peluangnya besar, untuk buat kejahatan juga besar,” ucap Agam.

Pesantren emang belakangan menjadi sorotan banyak pihak. Terutama karena banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan berbasis keagamaan tersebut. Banyak orang heran, lembaga yang seharusnya jadi tempat membina akhlak dan kebaikan, eh justru sering tak lepas dari sesuatu yang buruk. Mirisnya, perbuatan bejad itu tidak hanya dilakukan oleh santri, tapi juga oleh ustad-ustad mereka. Orang yang seharusnya justru menjadi tauladan santri-santrinya.

Menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) selama 2024 saja ada 114 kasus kekerasan dan pelecehan seksual di pesantren. Bentuk: dari mulai kekerasan seksual yang mencapai 42 persen. Perundungan 31 persen, kekerasan psikis 11 persen, kekerasan fisik 10 dan 6 persen tindakan diskriminasi. Sementara menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), selama periode Januari – Agustus 2024 ada 101 anak menjadi korban kekerasan seksual di pesantren. 69 persen korbannya adalah anak laki-laki dan 31 persen anak perempuan.

Menyikapi banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di pesantren Kementerian Agama akhirnya menerbitkan regulasi anti kekerasan di pesantren. Regulasi itu tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No 91 tahun 2025 tentang Peta Jalan Program Pengembangan Pesantren Ramah Anak. Regulasi ini antara lain mengatur batas kompetensi ustaz dan ustazah di pesantren, baik pada aspek kepribadian, sosial, pedagogik, maupun profesional. Selain menguasai ilmu yang diajarkan, pengajar harus memiliki kapasitas menyajikan teknik pengajaran ramah anak.

Sebagai sebuah upaya pencegahan, kita patut hormati upaya Kemenag dengan membuat aturan. Walaupun, itu sih belum bisa jaminan. Karena, aturan yang tidak dibarengi dengan penegakan hukum dan pengawasan yang kuat, akan jadi sia-sia saja. Tapi mudah-mudahan itu akan berhasil. Stop kekerasan dan pelecehan seksual di pesantren!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img