Presiden ke-2 RI Soeharto resmi mendapatkan gelar pahlawan nasional dari Presiden Prabowo Subianto. Prosesi pemberian gelar dilakukan, bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November 2025. Presiden Prabowo menyerahkan langsung secara simbolis gelar pahlawan nasional tersebut kepada putra ke-3 Soeharto, Bambang Trihatmodjo. Selain, Soeharto ada sembilan nama lain yang juga memperoleh gelar pahlawan nasional, antara lain: KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur), Marsinah dan lain-lainnya.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto telah melalui sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Menurutnya, ini adalah bentuk penghormatan terhadap jasa besar Soeharto dalam pembangunan dan stabilitas nasional. “Semua mantan presiden layak mendapat penghargaan atas jasa mereka kepada bangsa,” ujarnya.
Tapi, keputusan itu langsung memicu reaksi keras dari publik. Sejak pagi, media sosial dipenuhi tagar penolakan. Bahkan di situs Change.org, ada petisi berjudul “Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto” sudah ditandatangani lebih dari 16 ribu orang hanya dalam beberapa jam. Isi petisi itu tegas: Soeharto tidak layak disebut pahlawan. Selama 32 tahun kekuasaannya, banyak pelanggaran HAM, praktik korupsi besar-besaran, dan pembungkaman kebebasan rakyat terjadi. Para penandatangan menilai, memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan menghapus ingatan kolektif bangsa tentang penderitaan jutaan orang.
Sorotan utama tentu pada tragedi 1965–1966. Ratusan ribu orang dibunuh, dipenjara tanpa pengadilan, atau diasingkan hanya karena dituduh terlibat PKI. Hingga kini, keluarga korban belum mendapat keadilan, sementara para penyintas masih membawa trauma dan stigma “tidak bersih lingkungan” yang membatasi hidup mereka. Selain itu, era Orde Baru juga dikenal sebagai masa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merajalela. Transparency International, sebuah LSM internasional yang berfokus pada isu korupsi bahkan pernah menobatkan Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia. Jumlah dugaan penyelewengannya mencapai miliaran dolar.
Romo Magnis Suseno menyebut pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto menodai makna pahlawan nasional. Menurutnya, Seorang pahlawan nasional seharusnya bersih dari dosa besar terhadap kemanusiaan. Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan, seperti membalik nilai moral bangsa, ucapnya. Aktivis HAM Usman Hamid dan Ardi Manto Putra menilai keputusan ini sebagai bentuk impunitas politik. Di mana pelaku pelanggaran HAM justru diberi penghargaan tertinggi negara. Ardi negasin, kalau tujuannya rekonsiliasi, seharusnya dimulai dengan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, dan pemulihan hak korban. Bukan justru memberikan penghargaan kepada pihak yang dianggap bertanggung jawab.
Berbeda dengan para aktivis, sejumlah politisi justru mendukung pemberian gelar ini. Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia menyebut, Pak Harto adalah tokoh pembangunan. Beliau membawa Indonesia dari negara miskin menuju negara yang stabil dan produktif.” Ia menyoroti keberhasilan Soeharto dalam revolusi hijau, pembangunan infrastruktur, dan industrialisasi. Menteri Kebudayaan sekaligus anggota Dewan Gelar, Fadli Zon, juga menekankan jasa Soeharto di bidang militer seperti Serangan Umum 1 Maret dan Operasi Trikora.
Tapi, di tengah semua pencapaian itu, publik tetap bertanya nih. Apakah jasa pembangunan bisa menebus penderitaan akibat kekerasan, korupsi, dan pelanggaran HAM?? Banyak yang menilai ada konflik kepentingan dalam keputusan ini, mengingat Presiden Prabowo adalah mantan menantu Soeharto. Jadi ada anggapan kalau langkah ini sarat muatan politik dan kepentingan personal. Meski begitu, Mensesneg Prasetyo Hadi menilai pro-kontra ini hal yang memang wajar. “Dalam negara demokrasi, semua orang bebas berpendapat, tapi keputusan tetap di tangan negara,” ujarnya. Menurut Anda, apakah gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto sudah tepat? Tulis di kolom komentar ya!


