Manipulasi Sejarah Dalam Naskah Sejarah Indonesia Versi Resmi Pemerintah?

Published:

Ada kabar bahwa ada manipulasi dalam naskah sejarah Indonesia yang sedang disusun pemerintah. Manipulasi di sini artinya yang ditulis hanya hal-hal yang menguntungkan pemerintah serta menghilangkan hal-hal yang dianggap merugikan. Hal ini terungkap dalam sebuah laporan media Australia abc.net.au pada 22 Mei. Penulisnya Hellena Souisa. Rencana penulisan ulang sejarah itu diumumkan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, awal Mei lalu. Menurut Fadli, di dalam revisi ini akan ada perbaikan, penambahan, ataupun perbaikan terhadap buku sejarah Indonesia yang selama ini dipakai. Yang menggarap adalah 100 sejarawan di Indonesia.

Ternyata, menurut penelusuran tim ABC, ada banyak masalah dalam revisi sejarah ini. Paling tidak itu yang mereka lihat dalam kerangka konsep penulisan sejarah sepanjang 30 halaman yang mereka baca. Penolakan resmi terhadap naskah sejarah itu sudah diajukan oleh Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) pada 19 Mei lalu. Organisasi yang diisi sejumlah sejarawan dan aktivis hak asasi manusia itu mendatangi Komisi X DPR. Tergabung dalam aliansi tersebut antara lain sejarawan senior Asvi Warman Adam, mantan jaksa agung dan pengacara hak asasi manusia Marzuki Darusman, aktivis perempuan Ita Fatia Nadia, dan Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Profesor Sulistyowati Irianto.

Ada dua argumen utama yang menjadi dasar penolakan AKSI. Yang pertama adalah pemakaian istilah “sejarah resmi” yang dinilai bermasalah. Seolah-olah nantinya versi sejarah resmi inilah yang akan menjadi dokumen tunggal tentang apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Kedua, pemutakhiran sejarah oleh pemerintah ini merupakan sejarah yang selektif dan memanipulasi sejarah. Menurut sejarawan terkemuka Asvi Marwan Adam, “Pada intinya, manipulasi sejarah adalah menulis sejarah dengan hanya mengambil hal-hal yang menguntungkan suatu rezim, dan hal-hal yang negatif, yang merugikan, dihilangkan atau ditutupi atau digelapkan.”

Ia kemudian mencontohkan tidak adanya cerita mengenai 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat selama Orde Baru. Padahal 12 kasus itu sudah diakui oleh negara seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 2023. Juga tidak ada sejarah tentang krisis moneter 1997, tentang aksi mahasiswa, tentang tuntutan dan agenda reformasi, atau peristiwa kerusuhan anti-China dan turunnya Suharto pada 1998. Yang tercantum hanya dua peristiwa, yaitu peristiwa Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Talangsari Lampung 1989.

Bukan itu saja. Sejarah Indonesia di masa pemerintahan Soekarno juga disajikan secara tidak lengkap. Misalnya saja sejumlah peristiwa penting seperti Konferensi Asia Afrika 1955, penyelenggaraan Asian Games 1962 dan Ganefo (the Games of the New Emerging Forces) 1963 di mana Indonesia menjadi tuan rumah, tidak dimuat. Menurut ABC, terjadi perbedaan pendapat serius antara penulis sejarah yang terlibat. Misalnya saja, ada sejarawan yang mengundurkan diri dengan alasan diminta menulis sejarah yang bukan kompetensi dia. Kepada Hellena, seorang profesor bilang, masih diperlukan riset lebih dalam karena datanya masih simpang siur.

Mudah-mudahan saja, rencana penulisan ini bisa terus dilanjutkan dengan cara yang memuaskan. Ditulis secara jujur dan lengkap. Kalau tidak dilakukan, rakyat mungkin tak akan lagi percaya pada integritas pemerintah. Semangat Pak Fadli!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img