Mantap! Unas Tindak Tegas Mahasiswi yang Rasis ke Mahasiswi Papua

Published:

Universitas Nasional (Unas) akhirnya menindak tegas mahasiswi mereka, Jenda, yang melakukan tindakan rasis terhadap mahasiswa asal Papua, Novita Maubak. Kabar ini diumumkan lewat akun resmi TikTok @unas.1949 pada 8 November 2025. Pihak kampus menyebut proses laporan sudah selesai bersama Komisi Disiplin dan Satgas PPTK.

Hasilnya, Jenda dijatuhi sanksi skorsing satu semester serta sanksi ekonomi. Sanksi itu diputuskan setelah pemeriksaan oleh Komdis dan Satgas Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan (PPTK) Unas. Unas menegaskan bahwa pelaku dan korban sama-sama mendapat pendampingan. Korban difokuskan pada dukungan emosional, sementara pelaku diarahkan pada pembinaan karakter. Kampus juga menyiapkan sesi trauma healing untuk membantu Novita pulih dari tekanan psikologis. Ketua Komisi Disiplin Unas, Surajiman, berharap insiden ini jadi pelajaran berharga bagi seluruh civitas akademika.

Ia menegaskan, rasisme bukan hanya melukai korban, tapi juga hati seluruh mahasiswa Papua di Indonesia. Unas memastikan Novita tetap bisa melanjutkan kuliah tanpa hambatan hingga selesai. Kampus juga berharap Novita kelak bisa kembali ke Papua dan mengamalkan ilmunya. Sementara itu, Guru Besar FISIP Unas, Ganjar Razuni, turut menjembatani penyelesaian kasus ini.

Ia berkoordinasi dengan kepala suku Papua serta organisasi seperti Papua Connect Pace, IMAPA Se-Jabodetabek, dan keluarga Novita. Pertemuan antara kampus dan perwakilan masyarakat Papua menghasilkan dialog terbuka yang berakhir damai dan kekeluargaan. Semua pihak sepakat kasus ini diselesaikan dengan sanksi tegas tapi tetap berorientasi pada pembinaan.

Pihak kampus menyebut kejadian ini bermula dari kesalahpahaman dalam obrolan grup tugas pada 1 November 2025. Saat itu, Jenda menulis kata bernada rasis “tau monyetttt” kepada Novita yang belum sempat membalas pesan. Novita menegur dan menulis, “Tapi setidaknya jangan bilang aku monyet, aku bukan monyet.” Sayangnya, pelaku malah menantang balik: “Lah terus mau dibilang apa?” Perkataan itu menyulut amarah mahasiswa Papua lainnya yang tergabung dalam IMAPA Jakarta. Mereka lalu menggelar aksi damai di kampus Unas dan menuntut pelaku diberi sanksi tegas bahkan dikeluarkan (DO).

Kampus pun membentuk tim gabungan Komdis dan Satgas PPTK untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Hasilnya, sanksi skorsing dan sanksi ekonomi resmi dijatuhkan, serta pendampingan khusus diberikan bagi korban. Tindakan cepat Unas ini patut diapresiasi sebagai bukti komitmen nyata melawan rasisme di dunia pendidikan. Di tengah maraknya kasus perundungan dan ujaran kebencian, langkah Unas bisa jadi contoh bagi kampus lain.

Yang penting, penyelesaian tidak berhenti di hukuman, tapi juga memulihkan kondisi psikologis korban dan membina pelaku. Dengan menggandeng organisasi Papua dan membuka ruang dialog, Unas menunjukkan cara penyelesaian yang beradab dan inklusif. Sebab rasisme bukan sekadar ucapan kasar — tapi luka sosial yang mengikis rasa aman dan harga diri mahasiswa Papua.

Kasus ini harus jadi refleksi penting bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk menciptakan lingkungan belajar yang setara. Keberagaman bukan cuma slogan di brosur penerimaan mahasiswa baru, tapi harus diwujudkan lewat kebijakan nyata. Setiap kampus wajib menolak segala bentuk diskriminasi sekecil apa pun itu. Dan buat semua civitas akademika, ingat — rasisme bukan “candaan”, tapi kekerasan verbal yang meninggalkan luka panjang. Unas diharapkan terus memperkuat pendidikan karakter, pelatihan anti-diskriminasi, dan kebijakan humanis di kampus. Supaya dunia kampus benar-benar jadi ruang tumbuh yang sehat, di mana setiap mahasiswa bebas belajar tanpa takut dihakimi.

Pendidikan sejati bukan cuma soal nilai akademik, tapi juga bagaimana kita menghargai manusia lain. Dan semoga tak ada lagi “Novita-Novita” lain yang harus terluka hanya untuk mengingatkan kita bahwa semua manusia itu setara. Stop diskriminasi dalam pendidikan!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img