Jakarta, PIS – Oleh: Media Zainul Bahri*
Hubungan Islam-Kristen, termasuk di Indonesia kayaknya “benci tapi rindu”. Benci karena, selain efek perang salib dan kolonisasi Eropa Kristen terhadap negeri-negeri Muslim sejak abad ke-19, juga karena “isu Kristenisasi” yang dahsyat sejak masa kolonial. Umat Islam benci Kristen sejak dulu.
Tapi juga “rindu” karena fakta historis dan teologis. Misalnya, Raja Negus yang Kristen dulu pernah melindungi kaum Muslim selama beberapa bulan di Afrika. Bahkan kelak ketika Nabi di Madinah mendengar Raja itu meninggal, Nabi melaksanakan shalat ghaib untuknya (Shahih Bukhari). Nabi selalu terkenang dengan kebaikan dan pertolongan Raja Negus.
Secara teologis, dalam Qur’an surat al-Maidah ditegaskan bahwa “Nabi Muhammad pasti menerima “persahabatan dan kasih sayang tulus” (latajidanna aqrabahum mawaddah) dari orang-orang Kristen” di Jazirah Arabia saat itu. Dan itu terbukti. Nabi lebih banyak “bermusuhan” secara sosio-politik dengan orang-orang Yahudi di Madinah daripada dengan orang Kristen. Di Indonesia, sejak masa kolonial memang sudah ada “saling curiga” dan “tension” antara Kristen dengan Islam. Soalnya hanya dua saja: soal penghinaan dan soal Kristenisasi.
Misalnya, Hendrik Kraemer, tokoh Kristen yang sangat terkenal di masa kolonial, menulis sebuah buku ajar berjudul Agama Islam (1928) untuk guru-guru Kristen. Namun isinya terdapat hal-hal yang dianggap “menyinggung” atau “menghina” keyakinan kaum Muslim. Maka muncullah respons atas karya Kraemer itu. Seorang tokoh Muhammadiyah, A.D. Haanie menulis Islam Menentang Kraemer (1929) sebagai bentuk perlawanan atas buku Agama Islam.
Kasus lain adalah Ten Berge, seorang Pendeta Jesuit menulis dua artikel pada 1931 yang salah satu isinya menghina Nabi Muhammad sebagai orang Arab yang “bodoh” dan suka tidur dengan perempuan. Kontan saja, tulisan itu mengundang amarah dan reaksi.
Salah satunya adalah Muhammad Natsir, mantan Perdana Menteri dan tokoh Masyumi, yang kemudian menulis “Islam, Katolik dan Pemerintah Kolonial” sebagai bentuk bantahan yang keras. Antara tahun 1930 dan 1940, Natsir juga menulis beberapa artikel sebagai reaksi atas aktivitas Kristenisasi dan serangan kaum nasionalis sekuler serta kaum abangan.
Dua artikelnya yang berjudul Qur`an en Evangelie dan Moehammad als Profeet adalah reaksi atas tulisan-tulisan Domingus Christoffel yang sering menyerang Islam dan menghina Nabi Muhammad.
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru muncul tokoh-tokoh Islam atau sarjana Muslim yang membuat tulisan polemis atau tulisan yang bersifat reaktif. Di antaranya adalah A. Hassan, tokoh utama Persatuan Islam dan Hasbullah Bakry.
Hassan menulis buku berjudul Iesa dan Agamanja: Djawaban Terhadap Buku ‘Isa didalam Alquran (1958). Dari judulnya saja terlihat bahwa buku itu merupakan reaksi (balasan atau pertahanan) atas buku berjudul Isa didalam Alquran (1956) tulisan seorang Kristen Advent bernama Rifai Boerhanoe’ddin.
Buku Hassan itu kemudian dielaborasi lebih luas oleh O. Hashem dengan judul Keesaan Tuhan: Sebuah Pembahasan Ilmiah (1962). Karya Hasbullah Bakry yang berjudul Isa dalam Qur`an, Muhammad dalam Bible (1959) adalah buku yang menyanggah karya F.L. Bakker berjudul Tuhan Yesus dalam Agama Islam (1957).
Sebagai respons atas maraknya isu Kristenisasi di Jawa muncul karya Umar Hasyim yang berjudul Toleransi dan Kemerdekaan Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (1979). Buku ini terkenal sekali pada tahun 1980-an dan sering dipakai sebagai kampanye “anti Kristen” di banyak pesantren, pengajian-pengajian dan sekolah-sekolah Islam.
Dalam satu bab berjudul “Cita-Cita, Program Kerja, Dan Metode Kerja Mereka” Hasyim menyebutkan bahwa ia menerima selebaran (pamflet) yang isinya menerangkan bahwa umat Kristen Katolik akan mengkristenkan pulau Jawa dalam waktu 20 tahun, dan seluruh Indonesia dalam 50 tahun dengan berbagai cara dan program kerja mereka.
Karya-karya lain yang menunjukkan “permusuhan” Islam-Kristen itu misalnya Kedudukan Indjil Barnabas Menurut Islam (1970) karya Anwar Musaddad, Di Sekitar Perdjandjian Lama dan Perdjandjian Baru (tanpa tahun) karya Djarnawi Hadikusuma, dan tulisan-tulisan Sidi Gazalba seperti Dialog Antara Propagandis Kristen dan Logika (1971), Dialog Antara Kristen Advent dan Islam (1972), dan Djawaban Atas Kritik Kristen Terhadap Islam (1971).
Sepanjang 1950-an hingga akhir 1980-an, Muslim dan Kristen Indonesia sering “saling curiga” dan “penuh prasangka”. Tapi ini dulu ya, sekitar 50 atau 60 tahun lalu. Sudah berlalu.
Pikiran dan perasaan “anti Kristen” atau “anti Islam” 60 atau 70 tahun lalu jangan terus dirawat dan dikembangkan. Tidak bisa dan tidak mungkin lagi dihidupkan sekarang. Keadaan sudah jauh berubah.
Kita lebih sadar dengan ikatan kebangsaan, kita punya banyak forum kerukunan, forum silaturahmi antar-agama, punya undang-undang yang melarang “menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama” dan lain-lain. Masyarakat sipil juga sudah jauh lebih cerdas dan kritis, tahu hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara untuk terus merawat, menjaga, dan mengembangkan negeri yang multikultur dan multi-agama ini.
Sebagai perbandingan, di kota Köln tahun 2013, tempat saya riset dulu, dihuni sekitar 1 juta 200 ribu orang; sekitar 350 ribu adalah Muslim, terutama muslim Turki (pada 2007 tercatat 120.000 Muslims).
Kaum Muslim memiliki sekitar 35 mushala, beberapa masjid dan satu masjid pusat/agung (Zentralmoschee), masjid terbesar di Köln dan dikehendaki menjadi salah satu masjid terbesar di Eropa Barat. Zentralmoschee yang terletak di daerah Ehrenfeld, dibangun dengan biaya sepenuhnya dari DITIB, Diyanet Isleri Turk-Islam Birligi atau Turkish Islamic Union for Religious Affairs.
Tetapi Zentralmoschee dibangun di atas kontroversi yang keras. Ditolak oleh sebagian warga Köln yang Kristen, Yahudi, dan Neo-Nazi. Terjadi perdebatan keras di TV dan koran-koran. Partai-partai politik juga terlibat pro dan kontra. Demonstran yang pro dan kontra, tumpah ke jalan.
Ralp Giordano, salah seorang penulis dan jurnalis terkemuka Jerman orang Köln, adalah tokoh Neo-Nazi yang bersuara sangat keras menolak masjid itu. Bahkan Deputi Walikota Köln saat itu, Jörg Uckermann yang menolak masjid itu, mengatakan “We don’t want to build a Turkish Ghetto in Ehrenfeld. I know about Londonistan (komunitas Pakistan di London yang punya masjid) but I don’t want that here (in Köln)”.
Tetapi Walikota Köln sendiri saat itu malah setuju dengan pembangunan masjid itu dan mengatakan “For me it is self-evident that the Muslims need to have a prestigious place of worship”. Juga Kepala kantor integrasi Köln yang setuju, mengatakan “It is important that the Muslims here get dignified houses of prayer”.
Masjid itu kemudian berhasil dibangun, berdiri dengan megah dan indah: masjid yang bermartabat (a dignified mosque). Dulu, saya sering shalat Jumat di situ.
Kalau kepala daerah atau otoritas tertinggi non-muslim saja setuju mengizinkan pembangunan “masjid bermartabat” bagi kaum Muslim minoritas, maka sepantasnya otoritas dan kepala daerah di Cilegon memberikan izin “gereja bermartabat” bagi minoritas Kristen.
Masa non-muslim di Cilegon sama sekali tidak boleh punya “rumah ibadah”? Kasian teman-teman Kristen di Cilegon harus pergi ke Serang tiap mau sembahyang berjamaah. Mereka cuma mau “ketemu Tuhan” di sebuah bangunan yang terhormat. Bukan mau bikin ribut-ribut dan bukan mau melakukan zending atau Kristenisasi eksternal.
Lagi pula, hak punya keyakinan dan beribadah tiap warga negara dijamin oleh undang-undang tertinggi dalam konstitusi kita.
* Guru Besar Pemikiran Islam UIN Jakarta.