Jakarta, PIS – Indonesia sangat beruntung memiliki NU dan Muhammadiyah. Mayoritas warga dua ormas terbesar itu menolak syariatisasi kebijakan publik. Sikap itu tercermin dari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting pada Mei 2022 lalu.
Dalam survei tersebut, responden diajukan tiga pertanyaan. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diyakini hanya oleh pemeluk agama Islam.
Kedua, kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasar pada hukum, UU, atau aturan yang hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam. Ketiga, sebagai kelompok yang lebih besar, penganut agama Islam harus diperlakukan lebih baik dari penganut agama lain oleh negara.
Hasilnya, mayoritas warga NU dan Muhammadiyah menjawab ‘Tidak Setuju’ di semua pertanyaan tadi. Di pertanyaan pertama, responden yang mengaku anggota NU yang ‘Tidak Setuju’ 58 persen, sementara responden yang mengaku anggota Muhammadiyah 58 persen.
Di pertanyaan kedua, responden NU yang ‘Tidak Setuju’ sebanyak 71 persen, responden Muhammadiyah 73 persen. Di pertanyaan ketiga, responden NU yang ‘Tidak Setuju’ 71 persen, responden Muhammadiyah 73 persen.
Hasil survei SMRC itu menunjukkan mayoritas warga NU dan Muhammadiyah melihat sila pertama harus terbuka bagi semua agama. Sikap ini sebenarnya sejalan dengan semangat sila pertama itu sendiri.
Yang menjamin semua agama dan kepercayaan diperlakukan setara oleh negara. Itu artinya, basis sosial untuk pluralisme keagamaan sudah ada dalam masyarakat. Penelitian ini juga membuktikan anggapan NU dan Muhammadiyah sebagai ormas yang penting, untuk menumbuhkan pluralisme di Indonesia, bukan klaim semata. Terima kasih NU. Terima kasih Muhammadiyah.