Jakarta, PIS – Buya Syafii Maarif telah mendahului kita pada akhir Mei lalu. Untuk memperingati 40 hari wafatnya sang guru bangsa, Maarif Institute dan Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) menggelar acara Syafii Maarif Memorial Lecture. Acara yang digelar pada 5 Juli di Salihara Art Center, Jakarta, itu didukung Komunitas Salihara dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Acara ini diinisiasi untuk mengenang sekaligus terus menghidupkan dan mengembangkan gagasan dan teladan Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu. Sastrawan dan jurnalis senior Goenawan Mohamad memberikan sambutan mewakili Komunitas Salihara. Goenawan tidak dapat menyembunyikan emosinya saat mengenang sosok buya.
Ia berhenti beberapa kali dan menyeka air mata saat menggambarkan kesederhanaan buya. Buya adalah tokoh besar namun keseharian Buya tidak beda dengan rakyat biasa. Buya juga meminta dimakamkan di pemakaman Muhammadiyah, meskipun ia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
“Maaf saya agak emosional. Waktu beliau wafat, dua hari saya menangis,” kata Goenawan menutup sambutannya. Dalam acara ini juga hadir Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan Anggota Dewan Pengarah BPIP, Amin Abdullah yang menyampaikan pidato kebudayaan. Dalam pemaparannya, Amin menyatakan buya dikenal sebagai sosok yang sangat meyakini Islam sebagai pedoman etika dan petunjuk hidup dengan sepenuh hati.
Tapi tidak kehilangan rasa hormat kepada pemeluk agama lain yang berbeda. “Pluralis-inklusif, non-diskriminatif. Cendekiawan-intelektual-ulama berwawasan luas dan terbuka,” jelas Amin. Buya juga sangat mencintai Indonesia tanpa reserve.
Buya sangat sedih melihat jurang antara kaya dan miskin di tanah air yang masih sangat tajam. Ia menyatakan sila kelima dalam Pancasila adalah sila yang paling tertinggal di buritan peradaban, paling terlantar, dan ‘yatim piatu’. Buya juga tidak segan-segan teriak keras melontarkan kritik ketika para penyelenggara negara terjebak dalam kubangan lumpur KKN.
Kata Buya, jangan memuja-memuja Pancasila tetapi mengkhianatinya dalam praktik kehidupan sehari-hari dengan berbuat KKN sesuka hati. Buya juga berani bersuara ketika melihat gelagat Front Pembela Islam (FPI) semakin ganas dan menjadi-jadi karena pemerintah tidak mengambil sikap yang tegas.
Buya menyatakan dengan lantang bahwa FPI dan sejenisnya adalah ‘preman berjubah’. “Dengan kritik dan pernyataan-pernyataan seperti itu, Buya tidak gentar untuk dikucilkan oleh warga masyarakat Muslim,” kata Amin. MARI TERUS KEMBANGKAN GAGASAN BUYA DAN IKUTI TELADANNYA.