Konten kreator asal Medan, Ratu Thalisa alias Ratu Entok, kena batunya setelah didakwa menghina Yesus. Dia divonis penjara 2 tahun 10 bulan. FYI, kasus ini bermula pas sosok bernama asli Irfan Satria Putra Lubis itu lagi Live TikTok pada 2 Oktober tahun lalu. Dalam siaran itu, Ratu terlihat cari gambar model rambut pria gondrong di Google. Kebetulan muncullah gambar Yesus Kristus. Ratu nunjuk foto itu dan dengan raut muka mengejek.
“Heh, kau cukur rambut kau, jangan sampai kau menyerupai perempuan,” katanya. “Dicukur, biar jadi kek bapak dia,” lanjutnya. Ratu nambahin, laki-laki harusnya berambut pendek, bahkan botak. Dia bahkan membandingkannya dengan pemain sepak bola terkenal Ronaldo. “Harus kayak ini kau. Cukur woi, cukur,” katanya dengan ketus.
Tindakannya itu langsung mengundang kemarahan. Salah satu ormas yang melaporkan Ratu adalah Horas Bangso Batak (HBB) dengan UU ITE. Emang sih setelah rame dikecam Ratu Entok sempet minta maaf dan mengaku khilaf. Tapi proses hukum tetap berlanjut. Jaksa mendakwa Ratu Entok dengan UU ITE. Jaksa menilai Ratu Entok dengan sengaja melakukan ujaran kebencian lewat media sosial dan penodaan agama terhadap umat Kristen di Indonesia. Jaksa menuntutnya 4,5 tahun penjara.
Pada 10 Maret lalu, Pengadilan Negeri Medan memvonis Ratu Entok jauh lebih ringan jadi 2 tahun 10 bulan. Dia juga diwajibkan bayar denda 100 juta subsider kurungan 3 bulan penjara. Apa yang dilakukan Ratu Entok jelas nggak bisa dibenarkan. Simbol dan sosok yang disucikan dalam agama tertentu nggak sepantasnya direndahkan. Ini berlaku untuk semua agama ya.
Tapi kami menganggap pelakunya nggak harus sampai dijebloskan ke penjara. Kalo pelakunya sudah menyesali kesalahannya dan minta maaf, cukup dia disanksi secara sosial. Contohnya, dia diwajibkan melakukan pelayanan di panti asuhan atau gereja. Beda ceritanya kalo pelaku diketahui berkali-kali melakukannya dan nggak menyesalinya. Pada titik itulah sanksi hukum boleh dijatuhkan.
Di sisi lain, kasus ini cerminan pola sosial tertentu dalam era digital dan media sosial. Ketika bikin konten nyeleneh dianggap lebih gampang viralnya. Sehingga kita terdorong ngomong apa aja tanpa batas di media sosial. Candaan yang mungkin dianggap biasa, tapi dibawa ke ranah media sosial. Candaan itu jadi terdengar sensitif di media sosial dan mendatangkan masalah.
Ingat ya, di media sosial, hukum dan norma sosial juga tetap berlaku. Karena itu, perlu hati-hati dengan candaan yang menjurus pinggir jurang. Jangan sampai itu berimbas pada dugaan penghinaan karena menyangkut hal-hal sensitif dalam agama. Sayangnya, di Indonesia hal seperti itu bisa berujung ke meja hijau.
Karena itu, siapapun yang menggunakan media sosial harus hati-hati. Apalagi memanfaatkan fasilitas siaran live. Menggunakannya seperti menggunakan pisau bermata dua. Bisa berdampak positif, tapi juga bisa sebaliknya. Pastikan semua yang akan disampaikan benar-benar aman. Dalam fasilitas siaran live, apa yang kita sampaikan langsung terpapar dan cepat menyebar. Dalam fasilitas siaran live, apa yang kita sampaikan nggak bisa diedit dan nggak bisa di-undo.
Karena itu, penggunaannya harus punya sensitivitas ekstra. Nggak bisa asal jeplak yang tanpa disadari bisa berpotensi dipersoalkan. Yuk, jadi konten kreator yang bijak!