Dalam hal religiusitas Indonesia memang gak ada duanya. Bahkan mengalahkan negara-negara yang konstitusinya memang berlandaskan agama. Terbaru, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara yang menganggap penting pemimpinnya religious dan seagama. Posisi pertama diperoleh Indonesia setelah 90 persen warganya menganggap penting pemimpinnya religious dan seagama.
Urutan kedua ditempati oleh Brunei Darussalam dengan presentasi 89 persen, dan ketiga ditempati oleh Filipina dengan 88 persen. Negara lain yang masuk dalam 10 besar kelompok ini secara berurutan: Malaysia, India, Kenya, Sri Lanka, Nigeria, Afrika Selatan dan Ghana. Hasil itu berdasarkan survei yang dilakukan Pew Research Center. Kalau dilihat dalam daftar ini, tidak satupun negara maju masuk dalam kelompok ini. Kebanyakan ditempati oleh negara-negara berkembang, bahkan negara miskin.
Di Indonesia, pemimpin religious dan seagama selalu menjadi isu penting di setiap pemilihan umum. Baik saat pemilihan legislatif seperti DPR dan DPRD, maupun pemilihan eksekutif seperti Presiden dan wakil presiden, gubernur bupati dan walikota. Bahkan sekedar pemilihan ketua osis di sekolah saja, pemimpin religius dan seagama sering menjadi isu. Saat pemilu, baik calon presiden maupun calon anggota DPR dan DPRD selalu merasa perlu mencantumkan gelar keagamaan.
Yang paling banyak tentu saja gelar haji. Pencantuman gelar itu seolah ingin menunjukkan bahwa dia adalah sosok religious, sehingga layak dipilih. Gelar-gelar lainnya, seperti Kiai, Ustad, Pendeta dan lain sebagainya juga sering dipakai, walaupun tak sebanyak gelar haji. Pemimpin seagama juga sering menjadi isu penting. Saat pemilu, para calonnya sendiri dan pemuka agama sering menyerukan agar memilih pemimpin yang seagama. Alasannya, pemimpin seagama akan menjamin aspirasi agamanya, menjamin imannya dan lain sebagainya.
Gara-gara ini, Indonesia pernah mengalami kondisi yang buruk terkait toleransi. Masyarakat sempat terpecah karena isu identitas yang digulirkan oleh salah satu pasangan calon gubernur. Ini terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Saat itu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang beragama Kristen dan Anies Baswedan yang beragama Islam bersaing memperebutkan posisi gubernur Jakarta. Anies yang saat itu berpasangan dengan Sandiaga Uno menggunakan isu agama untuk memenangkan persaingan itu. Tim kampanye dan pendukung Anies menyerukan agar tidak mensholatkan orang-orang Islam yang memilih Ahok. Ahok juga dituduh melakukan penistaan agama, karena mengutip surat Al-Maidah untuk menyindir orang-orang yang melakukan politik identitas. Hasilnya memang Ahok akhirnya kalah dalam kompetisi itu.
Terkait isu pemimpin seagama, belakangan ada kabar baik sih. Seorang calon Gubernur beragama Kristen berhasil menjadi pemenang di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Ini terjadi di Maluku Utara, Sherly Tjoanda berhasil mengalahkan calon lainnya yang beragama Islam. Bercermin dari tidak adanya negara maju yang menganggap penting pemimpin religious dan seagama mestinya kita mau mengevaluasi pilihan itu. Ternyata, pemimpin religious dan seagama tidak mampu menjadikan negaranya menjadi maju. Kemampuan memimpin harus menjadi alasan utama saat memilih pemimpin. Dan itulah yang dilakukan oleh negara-negara maju. Saatnya Indonesia berubah. Pilih pemimpin berdasarkan kemampuan, bukan agamanya!