Pernyataan Menteri Agama, Nasaruddin Umar yang bilang kekerasan terlalu dibesar-besarkan media mendapat banyak kritik dari netizen. Mereka gak habis pikir, seorang pejabat menyampaikan opini seperti itu. Menurut para netizen, Pak Nasar seperti tidak sadar bahwa opini seorang pejabat otomatis jadi pernyataan negara. Netizen juga menyampaikan, besar kecilnya kasus bukan saja dilihat dari sedikit banyaknya kasus yang terjadi, tapi juga dari bentuk kejahatannya. “Kejahatan seksual itu dosa besar. Satu korban saja sudah cukup membuat pelaku menerima hukum mati,” tulis seorang netizen. “Gak ada kejahatan seksual yang ‘DIBESAR2KAN’ Karena semua kejahatan seksual adalah ‘KEJAHATAN BESAR,” tulis netizen lainnya.
Pernyataan Menag juga direspon keras oleh aktivis hak asasi manusia, Yuniyanti Chuzaifah. Menurut Yuni, kekerasan seksual bukan isu personal melainkan isu sosial yang dampaknya masif. “Tidak bisa dibilang dibesar-besarkan oleh media, karena ini memang kasus besar,” ucap Yuni tegas. Dibandingkan dengan jumlah pesantren yang ada, mungkin jumlah kasus yang terjadi tidak sebanyak jumlah pesantren. Tapi, kasus-kasus itu terus berlangsung sampai saat ini, bahkan selalu ada kasus baru yang terungkap.
Selama tahun 2025 saja, tercatat sudah 4 kasus terungkap, terjadi di empat provinsi berbeda. Pertama, di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seorang mantan pimpinan pesantren berinisial AF melakukan kekerasan seksual kepada 22 santriwati. Perbuatan itu dilakukan sepanjang tahun 2015 – 2024. Pelaku manipulasi korban dengan dalih spiritual dan berjanji akan menjadikan keturunan korban bercahaya. Kasus kedua terjadi di pati Jawa Tengah. Seorang pengasuh pondok pesantren diduga melakukan pelecehan seksual kepada sejumlah santri dengan modus memberi hukuman kepada santrinya. Kasus ketiga terjadi di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Seorang pimpinan pesantren diduga menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap belasan santri. Terjadi juga di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur. Seorang pimpinan pesantren dilaporkan melakukan pelecehan seksual kepada seorang santriwati.
Jumlah kasus di tahun 2024 bahkan lebih banyak terjadi. Pada Maret 2024, Polisi menetapkan pengasuh pesantren di Jawa Timur berinisial M serta putranya berinisial F sebagai tersangka pencabulan terhadap seorang santriwati. Juli 2024, dua guru di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Agam ditangkap karena diduga melakukan pencabulan terhadap 40 santri. Agustus 2024, Polres Karawang mengkonfirmasi kabar pencabulan terhadap puluhan santri di sebuah pesantren di Karawang, Jawa Barat. September 2024, pemilik pondok pesantren di Karang Bahagia, Kabupaten Bekasi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencabulan terhadap santriwati. November 2024, seorang santri pondok pesantren, inisial FP (15) di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menjadi korban pelecehan seksual. Diduga pelakunya adalah salah satu tenaga pengajar, berinisial TR. Desember 2024, sebanyak 20 santriwati pondok pesantren di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, menjadi korban pelecehan seksual oleh pengajarnya.
Tahun sebelumnya, kita juga sempat dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemilik Pondok pesantren, Herry Wirawan di Bandung, Jawa Barat. Herry terbukti melakukan pemerkosaan kepada 13 santriwatinya. Ada juga kasus pelecehan seksual di sebuah pondok pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat, korbannya, 9 santriwati. Dan masih banyak kasus lagi yang belum dimasukkan dalam daftar ini. Belum lagi kasus-kasus yang belum terungkap. Karena kita tahu, banyak orang yang tidak berani menyampaikan kasus-kasus itu ke publik atau kepolisian.
Dari kasus yang sudah kami sampaikan saja, gak bisa dibilang, jumlahnya sedikit. Bahkan ini sudah banyak sekali. Jadi seharusnya Menag mengecam dan mendorong masyarakat untuk buka suara. Bukan malah sebaliknya menganggap sedikit dan hanya dibesar-besarkan media. Sikap seperti ini justru terkesan tidak peka terhadap penderitaan korban kekerasan seksual. Pak Menag, yuk jadi pejabat negara yang pro terhadap korban kekerasan seksual!


