Jakarta, PIS – Adu opini soal jilbab berlangsung di Denmark. Di satu kubu, ada usulan melarang pengenaan jilbab pada kelompok anak atas nama kebebasan berekspresi. Di sisi lain, ada penolakan terhadap usulan itu, pun atas nama kebebasan berekspresi.
Yang mengusulkan pelarangan adalah Komisi Rakyat Denmark untuk Perjuangan Perempuan yang Terpinggirkan. Ini adalah badan yang dibentuk Partai Demokratik Sosial, partai yang berkuasa di Denmark saat ini.
Komisi itu mengusulkan pemerintah melarang jilbab untuk pelajar di sekolah dasar. Ini penting, menurut mereka, agar anak perempuan dari kelompok minoritas bisa menikmati hak dan kebebasan yang sama dengan anak perempuan lainnya.
Minoritas yang dimaksud terutama yang berasal dari Timur-Tengah. Usulan itu juga merujuk pada satu studi terhadap 1400-an pelajar di sekolah-sekolah dasar yang dikelola negara dan swasta.
Studi itu berkesimpulan, pemakaian jilbab di sekolah dasar bisa menciptakan polarisasi di antara anak-anak menjadi ‘kami’ dan ‘mereka’. Usulan itu menuai penolakan dan protes di Denmark. Salah satunya dari Huda Makai Asghar.
Huda adalah pelajar kelas sembilan dan sudah mengenakan jilbab selama dua tahun. Huda kaget ketika mendengar usulan itu, mengingat kebebasan beragama dijunjung tinggi di Denmark.
“Saya bisa memakai apapun yang saya ingin pakai, dan saya meyakini apa yang saya sukai,” katanya. Suara serupa juga datang dari Lone Jorgensen, seorang kepala sekolah di Denmark.
Kata Lone, tugasnya sebagai kepala sekolah adalah memberi ruang bagi siapa pun dan memperlakukan siapapun secara setara. Iram Khawaja, dosen di Fakultas Pendidikan Universitas Aarhus, Denmark, angkat bicara soal polemik ini.
Menurutnya, berjilbab jangan disamakan dengan kontrol sosial negatif. Mayoritas anak perempuan yang memakai jilbab itu melakukan atas keinginan sendiri tanpa paksaan, kata Ira. Apa terjadi di Denmark ini bisa jadi pelajaran penting.
Mereka yang membela hak perempuan untuk berjilbab adalah kaum non-muslim. Mereka membela karena percaya berjilbab adalah kebebasan berekspresi. Kita di Indonesia bisa menerapkan prinsip serupa.
Berjilbab atau tidak berjilbab adalah hak dan kebebasan yang harus dilindungi. Negara atau otoritas apa pun cukup memastikan bahwa perempuan bisa menentukan secara bebas mana pakaian yang pantas bagi mereka. Berjilbab atau Tidak adalah Pilihan.