Olimpiade Paris 2024 mungkin akan dikenang sebagai salah satu olimpiade terheboh’ sepanjang masa. Dan heboh bukan karena prestasi ya. Tapi karena urusan politik, hak asasi, sampai urusan AC dan medali yang pudar. Kalau urusan prestasi sih Indonesia kali ini membanggakan. Dalam turnamen global yang berakhir 11 Agustus ini, Indonesia memperoleh dua medali emas dan satu perunggu. Jadi Indonesia menempati posisi ke 39 dari jumlah total 206 negara perserta.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya berada di bawah Filipina yang memperoleh dua emas dan satu perak. Selama 32 tahun terakhir, Indonesia tidak pernah dapat lebih dari satu emas. Tahun ini, satu emas diraih Rizki Juniansyah dari angkat besi dan satu emas lain diperoleh Veddriq Leonardo dari panjat tebing. Satu perunggu diperoleh Gregoria Mariska Tunjung. Yang lucu, Metro TV dengan sembarangan menyebut medali perunggu ini sebagai giveaway karena lawan Gregoria di perebutan tempat ke tiga cedera, sehingga Gregoria memperoleh perunggu tanpa bertanding.
Habislah Metro TV diserang rakyat Indonesia, sampai akhirnya Metro harus minta maaf dan mengakui kesalahan mereka. Tapi urusan Metro ini sih sangat kecil dibandingkan kehebohan Olimpiade Paris secara keseluruhan. Bisa dibilang Panitia Paris nampak sangat amatir dan membiarkan begitu banyak kecerobohan recehan disaksikan seluruh dunia. Prancis juga dituduh melanggar hak-hak asasi manusia.
Padahal selama ini Prancis kan sering disebut sebagai negara yang melahirkan demokrasi dan kesetaraan hak manusia. Salah satu yang paling heboh adalah larangan hijab bagi atlet-atlet Prancis. Memang ini hanya diterapkan bagi atlet Prancis, tapi tetap saja jadi sorotan tajam. Menteri Olahraga Prancis bilang, keputusan ini dilakukan untuk mencegah apa yang disebut Proselytism. Prosellytism adalah tindakan mengajak orang lain mengikuti ajaran agama atau sikap politik melalui gaya hidup sehari-hari.
Dia juga klaim keputusan ini dibuat untuk menghormati prinsip sekularisme dan netralitas mutlak dalam layanan publik. Yang harus menanggung akibat ya atlet perempuan berhijab dari Prancis sendiri. Misalnya saja bintang basket mereka, Diaba Konate. Akibat larangan itu, Konate harus batal mewujudkan mimpi berprestasi gemilang di Olimpiade Paris 2024. Di Indonesia sendiri, kebijakan melarang hijab itu ditanggapi oleh Majelis Ulama Indonesia. MUI menghimbau umat Islam membalas dengan memboikot penjualan produk-produk Prancis. Itu kan artinya produk-produk seperti Danone, AXA, Loreal, Louis Vuitton, Hermes, Chanel? Dan mungkin karena umumnya berkelas premium, kita tidak mendengar terjadi kehebohan aksi boikot di gerai-gerai pertokoan Indonesia.
Kehebohan lain terjadi di acara pembukaan Olimpiade yang berlangsung di Sungai Seine. Panitia menampilkan parodi dari lukisan “Perjamuan Terakhir” karya Leonardo da Vinci. Lukisan itu merujuk pada sebuah peristiwa agung, ketika Yesus Kristus berkumpul bersama 12 muridnya sebelum dikhianati dan harus disalib oleh tentara Romawi. Gilanya, dalam parodi di Paris itu, yang ditampilkan adalah sejumlah aktor dari komunitas LGBT dan anak di bawah umur. Bahkan juga ada pria setengah telanjang yang disajikan sebagai hidangan dalam “Perjamuan Terakhir” tersebut. Tentu saja banyak pihak mengecam pertunjukan yang dianggap secara sengaja melecehkan umat Kristen dan Katolik itu.
Lucunya, juru bicara Olimpiade berdalih bahwa koreografi itu ditampilkan untuk merayakan toleransi.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, bahkan menyatakan: “”Inilah Prancis yang menjunjung tinggi Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan.” Waduh!
Di luar itu, panitia jelas terlihat amatiran. Misalnya saja di upacara pembukaan, panitia bikin kesalahan yang ‘enggak banget’. Masak sih panitia salah menyebut nama Korea Selatan dengan Korea Utara. Itu kan dua negara yang bisa dibilang bermusuhan sampai sekarang? Jadi, saat perahu yang membawa kontingen Korea Selatan lewat di Sungai Seine, sang announcer memperkenalkan kontingen sebagai ‘Republik Rakyat Demokratik Korea’, yang merupakan nama resmi Korea Utara. Pemerintah Korea Selatan sudah protes dan panitia sudah minta maaf, tapi kejadian itu akan terus dicatat sebagai bukti keamatiran Prancis.
Mirip dengan kasus Korea, panitia juga bikin kecerobohan soal Sudan Selatan. Lagu yang diputar saat Sudan Selatan tampil dalam pertandingan basket bukan lagu kebangsaan mereka, melainkan lagu kebangsaan Sudan. Padahal Sudan Selatan kan sudah memisahkan diri dari Sudan sejak 2011.
Ada pula soal kebersihan sungai Seine, yang digunakan untuk cabang triathlon. Ternyata sejumlah atlet dikabarkan muntah-muntah setelah berenang di sungai tersebut. Diduga sungai tersebut tercemar oleh bakteri e.coli. Sedemikian amatirnya panitia, sampai-sampai mereka tidak menyediakan pendingin ruangan atau Air Conditioner (AC) di kamar atlet. Akibatnya pemasangan AC dilakukan mandiri oleh komite masing-masing negara, termasuk Indonesia. Tim Indonesia memasang 15 unit AC di kamar atlet untuk mengatasi cuaca panas.
Belum cukup itu, ada juga soal kualitas medali. Sejumlah atlet menunjukkan bahwa medali perunggu yang mereka peroleh ternyata setelah beberapa hari terkelupas dan berubah warna. Panitia pun buru-buru menyatakan minta maaf dan akan mengganti medali yang rusak. Bukan cuma itu. Ada juga soal keamanan. Tim bulu tangkis Indonesia menjadi korban pencurian, dan uang yang raib hampir mencapai Rp 1 miliar. Ini menjadi kabar yang menyakitkan di tengah kebahagiaan akibat prestasi yang membanggakan.
Namun apa yang terjadi pada Indonesia ini jauh lebih ringan dari apa yang dialami tim Israel. Di sepanjang turnamen, Israel jadi korban serangan akibat perilaku militernya yang sangat kejam di Gaza. Di berbagai arena, tim atau atlet Israel dicemooh dan disoraki. Ketika mereka bertanding, ada saja penonton yang mengibarkan bendera Palestina. Israel akhirnya hanya memperoleh 1 emas, 5 perak dan 1 perunggu, dua tingkat di bawah Indonesia. Nggak tahu juga sih, apakah mereka tumbang karena disoraki atau karena memang kurang berkualitas.
Tapi yang jelas para atlet itu harus makan hati sepanjang turnamen. Ada juga atlet yang menolak bertanding melawan atlet Israel. Salah satunya atlet judo dari Aljazair, Massoud Ridwan Idris. Idris, yang seharusnya bertanding melawan pejudo Israel, Tohar Boutabal, dalam kategori berat badan 73 kg, memilih buat ngundurin diri dari kompetisi. Idris mengaku melakukan itu sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina dan menolak normalisasi hubungan dengan Israel.
Jadi Olimpiade Prancis akan dikenang sebagai Olimpiade terheboh. Buat Indonesia, ini memang Olimpiade yang membanggakan karena pencapaian.. Tapi buat dunia, Paris akan dikenang bukan karena soal olahraga. Tapi karena soal hijab, parodi perjamuan terakhir, AC, air tercemar, salah sebut nama, salah pasang lagu, dan penyudutan Israel.


