Menteri HAM Natalius Pigai lagi jadi sorotan publik. Ia menyerang lembaga survei di Indonesia yang dinilai bekerja buruk. Menurut Pigai, banyak lembaga survei di negeri ini nggak kredibel dan sarat kepentingan. Pernyataan itu ia lontarkan dalam acara Hari Bhakti Kementerian HAM ke-1 dan Kick Off Menuju Hari HAM Sedunia di Jakarta Selatan, Selasa 21 Oktober 2025.
Kritik Pigai muncul setelah Celios merilis laporan yang menempatkannya sebagai menteri dengan kinerja terburuk nomor tiga. Celios dikenal sebagai lembaga riset independen yang fokus pada ekonomi, hukum, dan kebijakan publik. Dalam laporan itu, Pigai termasuk dalam daftar 10 pejabat yang dianggap layak di-reshuffle.
Pigai bilang dirinya tak kaget, karena ia menilai Celios condong ke kubu Anies. Ia juga menuding banyak survei di Indonesia cuma berdasar “like-dislike”, bukan data objektif. Contohnya, kata dia, ada menteri yang jarang turun ke rakyat tapi bisa dapat nilai bagus. Pigai curiga hasil survei seperti itu sudah “setting-an”, beda dengan survei internasional yang lebih profesional. Dalam laporan Celios “Rapor Kinerja 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran”, Bahlil Lahadalia duduk di posisi terburuk pertama. Kepala BGN, Dadan Hindayana, di urutan kedua. Sementara Pigai sendiri di posisi ketiga.
Menurutnya, survei bisa dipakai untuk membenarkan dan melindungi praktik yang salah. Maka dari itu, ia mengimbau publik jangan gampang percaya hasil survei. Ia bahkan menyamakan survei sebagai alat pembenar kejahatan. Katanya lagi, survei bisa jadi pelindung tindakan kriminal. Pigai mengingatkan bahwa ia punya jejak panjang soal HAM: aktivis, Komnas HAM, hingga kini jadi Menteri HAM. Karena itu, ia bilang tak ambil pusing dengan survei tersebut.
Ia mengklaim Presiden Prabowo juga tak percaya pada survei. Menurutnya, data internal pemerintah justru menunjukkan kinerja Kementerian HAM bagus. Ia menyebut Kementerian HAM berada di posisi tiga dari 47 instansi dalam mendukung prioritas Presiden. Makanya ia menyindir lembaga survei yang menilainya layak di-reshuffle. Pigai menegaskan Kementerian HAM kerja nyata dan hasilnya bisa dibuktikan.
Sebenarnya kritik Pigai membuka diskusi penting soal transparansi survei di Indonesia. Emang bener, sebagian lembaga survei perlu lebih terbuka soal pendanaan dan metodologi. Tapi memainkan generalisasi “semua survei busuk” jelas nggak fair. Faktanya, ada banyak lembaga survei yang tetap profesional dan independen. Kalimat “survei alat kejahatan” juga kedengeran berlebihan. Narasi seperti itu justru bisa bikin publik anti lembaga survei.
Padahal survei cuma alat untuk mengukur persepsi publik, bukan vonis akhir kinerja pemerintah. Jika dipakai tepat, survei bisa bantu pemerintah memperbaiki layanan dan kebijakan. Pejabat publik semestinya memandang survei sebagai masukan yang perlu didengar, bukan ancaman. Survei dan pemerintah harus saling kontrol, bukan saling hapus. Dan publik pun wajib ikut mengawasi keduanya agar tetap bekerja untuk rakyat.
Pada akhirnya, perdebatan ini bukan cuma soal Pigai atau lembaga survei mana yang lebih benar. Survei bisa salah, tapi kritik yang berlebihan juga bisa jadi bumerang. Buat Pigai, kalau merasa surveinya nggak akurat, ya nggak apa-apa. Tinggal tunjukkan saja data kinerja yang jelas dan bisa dicek publik sebagai bukti.


