Jakarta, PIS – RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disahkan tanpa persetujuan PKS. PKS menjadi satu-satunya partai yang menolak RUU itu. PKS beralasan RUU tersebut tidak memasukkan tindak pidana kesusilaan secara komprehensif. Yaitu meliputi; kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan dalam seksual. Selain itu, PKS juga mempermasalahkan naskah akademik RUU tersebut. Di sana dijelaskan mengenai kekerasan seksual atas dasar pilihan orientasi seksual berbeda. Mereka juga keberatan dengan pasal pemaksaan aborsi dan pemaksaan perkawinan. Meskipun itu telah dibantah berulang kali oleh pengusul RUU PKS dan Komnas Perempuan.
Selain itu, PKS juga tidak setuju dengan nama RUU PKS. Mereka menyaranakan nama RUU diubah agar fokus pada tindak kejahatan seksual. Akhirnya pada September 2021, panja DPR mengganti nama RUU itu menjadi RUU TPKS. RUU TPKS menjadi polemik selama enam tahun, sebelum akhirnya disahkan pada selasa 12 April 2022. Dalam sejarahnya, UU ini pertama kali diinisiasi Komnas Perempuan pada 2012. Empat tahun kemudian, Komnas Perempuan diminta menyerahkan naskah akademiknya. DPR akhirnya sepakat memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Keputusan tersebut juga didukung oleh Presiden Joko Widodo. Pada 2017, DPR sempat menyepakati RUU PKS sebagai RUU inisiatif DPR.
Namun pada tahun 2018, DPR menunda pembahasan RUU itu hingga Pemilu 2019 selesai. Pro dan kontra masih terus mewarnai perjalanan RUU tersebut sampai 2020. Bahkan empat fraksi di DPR tidak mendukung RUU PKS masuk dalam Prolegnas 2021. PKS menolak keras, sementara PPP, PAN, dan Demokrat tidak secara tegas mendukung RUU tersebut. Bahkan beredar kabar pembahasan RUU itu bakal dicabut dari prolegnas oleh Komisi VIII. Namun akhirnya kita semua bahagia, RUU TPKS berhasil disahkan. Ini adalah kemenangan seluruh bangsa Indonesia, tanpa PKS di dalamnya.