Pejabat Pemerintahan Amerika Serikat yang bukan Kristen akan dipecat per 2025. Pernyataan ini disampaikan TikTok asal Amerika, @brianbanjo yang terkenal sarkas dalam setiap konten yang dibuatnya, pada 10 Februari lalu. Dalam konten itu, Brian bilang Presiden Amerika Donald Trump dan Elon Musk, Pegawai Khusus Pemerintah Amerika, baru saja menandatangani sebuah kebijakan. Isinya, kalo ada pejabat di pemerintahan Amerika yang diketahui beragama selain Kristen, dia akan segera mendapat konsekuensi yang berat. Mulai dipecat dari jabatannya, nggak mendapat pesangon setelah dipecat, dan juga akan mendapat hukuman tambahan. Di penutup kontennya, Brian mengingatkan netizen dengan berkata, “Bagi yang ingin daftar di pemerintahan Amerika, pastikan kalian memiliki sertifikasi kalian beragama Kristen”. Konten Brian itu memang penuh sarkasme. Jadi, jangan ditelan mentah-mentah.
Tapi, kalo dilihat-lihat, Kristen memang diistimewakan dalam pemerintahan Trump. Trump, misalnya, akan mendirikan Faith Office alias Kantor Urusan Iman yang akan dikepalai oleh televengalis, Paula White. Pendeta White bukan orang asing bagi Trump, mengingat dia sudah menjabat sebagai penasihat agama Trump selama bertahun-tahun. Kantor Urusan Iman ini punya beberapa tugas. Yaitu, memperkuat hubungan antara pemerintah AS dengan organisasi berbasis agama, khususnya Kristen. Juga, mengatasi fenomena ‘bias anti-Kristen’ di internal pemerintahan Amerika. Dan membantu membantu organisasi berbasis agama, terutama Kristen, mendapatkan hibah dari pemerintah.
Trump juga akan membentuk satuan tugas khusus di bawah naungan Jaksa Agung, Pom Bondi. “Misi dari gugus tugas ini adalah untuk segera menghentikan segala bentuk penargetan dan diskriminasi anti-Kristen di dalam pemerintahan federal,” kata Trump. Trump tidak menyebutkan contoh spesifik bias anti-Kristen yang dia maksud itu. Tapi, nampaknya Trump ingin mendelegitimasi pemerintahan Biden sebelumnya yang dianggapnya menargetkan umat Kristen secara khusus dengan menggunakan tangan pemerintah federal.
Kebijakan yang terkesan yang mengistimewakan Kristen itu tidak terlepas dari hubungannya yang spesial antara Trump dengan kelompok Kristen konservatif. Kelompok inilah yang memberikan suaranya kepada Trump dalam Pilpres Amerika, meski mereka tahu Trump tidak sepenuhnya Kristen yang taat. Untuk menyenangkan mereka, Trump mengeluarkan pernyataan dan kebijakan yang terdengar sesuai dengan nilai dan sikap mereka. Mulai dari sikap dan pernyataan Trump yang anti imigran, anti imigran Muslim, sampai anti LGBT.
Kebijakan Trump yang pro Kristen ini jelas bertentangan dengan Konstitusi Amerika. Sejak awal, Konstitusi Amerika menerapkan pemisahan prinsip antara agama dengan pemerintahan. Juga dalam Konstitusi Amerika dikatakan, pemerintah dilarang memihak atau mengistimewakan satu agama di atas yang lain. Di kalangan Kristen sendiri kebijakan Trump itu diprotes. Pendeta kepala Aliansi Lintas Agama yang progresif, Paul Brandeis menyebut Trump munafik saat mengklaim akan memperjuangkan hak beragama umat Kristen. Itu karena Trump mengizinkan penggerebekan berbagai gereja yang di dalamnya ada kaum imigran.
Apa yang dilakukan Trump ini mengingatkan kita pada kebijakan populis berbasis agama. Kebijakan ini, misalnya, sudah dilakukan Narendra Modi yang dalam kebijakannya yang mengistimewakan kelompok Hindu, kelompok mayoritas. Tentu kita khawatir pola kebijakan ini digunakan oleh politikus di negara lain yang ingin meraup keuntungan dengan mengorbankan kelompok minoritas. Yuk, lawan politisasi agama!