Sebar Video Biar Dapat Simpati, Keluarga Pasien Malah Dihujat Karena Langgar SOP Kesehatan

Published:

Kelakuan keluarga pasien ini bener-bener bikin geleng-geleng kepala. Ingin diperlakukan istimewa, eh malah memaksa dokter yang memeriksa melanggar SOP kesehatan. Udah gitu, dia juga ngeraguin prosedur pemeriksaan penyakit yang dilakuin dokter. Sambil menuntut agar si pasien dipindahkan ke ruang VVIP.

Peristiwa itu dialami oleh dr. Syahpri Putra Wangsa, spesialis penyakit dalam RSUD Banyuasin, Sumatera Selatan. Kejadian terekam dalam sebuah video yang diunggah akun Instagram @radar_indonesia.official dan langsung viral. Peristiwa terjadi Selasa, 12 Agustus 2025 di ruang perawatan VIP. Dalam video terlihat seorang perempuan yang tertidur lemas, diduga akibat hipoglikemia dan tekanan darah tidak stabil. Hasil rontgen menunjukkan adanya bayangan infiltrat di paru kanan yang mengarah pada dugaan TBC.

Sesuai protokol pencegahan infeksi airborne, dokter mengenakan masker N95 selama pemeriksaan. Di tengah pemeriksaan, salah satu anggota keluarga pasien tampak tidak puas dengan penjelasan medis. Pria itu meminta dokter melepas masker. Alasannya ingin melihat wajah dokter ketika berbicara. Ia bahkan sempat berkata, “Kamu tahu infiltrat itu apa? Kalau hanya TBC seharusnya seperti apa tindakannya? Bukan nunggu sehari-dua hari untuk dahak.” Pernyataan itu disampaikan dengan nada tinggi, menuduh dokter hanya menunggu hasil tanpa memberi tindakan pasti.

Permintaan ini ditolak sopan oleh dokter karena melanggar SOP dan berisiko menularkan penyakit. Eh keluarga pasien malah marah. Dalam video, pria itu terlihat memegang leher dokter dan mencoba melepas maskernya secara paksa. Meski mendapat perlakuan kasar, dokter tetap profesional dan berpegang pada protokol keselamatan kerja. Aksi ini menuai kecaman netizen dan dukungan dari rekan sejawat.

Sehari kemudian, dr. Syahpri bersama pihak RSUD dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaporkan insiden ke Polres Musi Banyuasin. Pemkab Muba memfasilitasi pertemuan mediasi. Keluarga pasien meminta maaf dan berdalih emosi, serta berharap video insiden tidak disebarkan. IDI menegaskan proses hukum tetap berjalan agar memberi efek jera.

Dalam medis, infiltrat di rontgen tidak otomatis berarti TBC. Bisa saja pneumonia, infeksi jamur, bahkan kanker paru. Karena itu, obat TBC tidak boleh diberikan sembarangan. Obat ini keras, diminum 6–9 bulan, dan jika salah bisa merusak hati, ginjal, saraf, bahkan memicu TBC kebal obat. SOP WHO dan Kemenkes mewajibkan konfirmasi diagnosis lewat pemeriksaan dahak atau Tes Cepat Molekuler. Jadi, “menunggu hasil dahak” bukan berarti pasien diabaikan. Dokter tetap memberi terapi suportif untuk menjaga kondisi pasien.

Masalah sebenarnya ada pada sikap keluarga pasien. Memaksa dokter melepas masker di ruang isolasi adalah tindakan berbahaya. Masker N95 bukan aksesori, tapi pelindung agar penyakit tidak menular ke tenaga kesehatan, pasien lain, atau keluarga pasien itu sendiri. Melepas masker secara paksa bisa mengganggu perawatan dan membahayakan semua orang di ruangan. Apalagi jika penyakitnya menular lewat udara seperti TBC.

Permintaan memindahkan pasien TBC ke ruang VVIP tanpa alasan medis yang jelas juga ceroboh. Perawatan medis berdasarkan indikasi penyakit, bukan seberapa mahal kelas kamar. Memindahkan pasien menular tanpa prosedur isolasi berpotensi menyebarkan penyakit ke tempat lain.

Dalam kasus ini, dokter sudah menjalankan SOP dengan benar. Keluarga pasien justru mengabaikan bahaya penyakit menular dan prosedur medis. Di dunia medis, keputusan diambil berdasarkan bukti ilmiah, bukan tekanan atau emosi. Protokol kesehatan ada untuk melindungi semua pihak. Mengabaikannya demi kenyamanan sesaat bisa berakibat fatal.

Kalau tenaga kesehatan sampai takut menegakkan SOP gara-gara intimidasi, yang rugi justru pasien dan masyarakat. Kita semua wajib menghormati dan mendukung dokter yang berpegang pada aturan demi keselamatan bersama. Melawan SOP bukan cuma melawan aturan rumah sakit, tapi juga melawan akal sehat.

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img