Siswa Penghayat Kepercayaan Sering Dirundung, Film dan Televisi Ikut Berperan

Published:

Perundungan terhadap penganut penghayat kepercayaan di sekolah terus saja terjadi. Mirisnya, media massa seperti film dan televisi ikut memicu perundungan itu tetap berlangsung. Perundungan juga bisa terjadi di semua jenjang pendidikan. Pelakunya dari teman-temannya, bahkan gurunya.

Ini yang dialami oleh seorang siswa bernama Widi dan Amel, seorang siswa penghayat kepercayaan. Widi dirundung saat dia SD maupun setelah dia SMP. Saat di SD, satu kali ikatan rambut Widi jatuh. Melihat itu gurunya berkata: “Makanya harus pakai kerudung, biar rapi, biar cantik.” Widi kembali dirundung saat di sekolahnya akan mengadakan pesantren kilat. Dia bertanya ke gurunya, apakah dia harus tetap masuk atau tidak? Awalnya sih gurunya memberi kebebasan. Tapi kemudian guru itu menyarankan Widi untuk masuk Islam saja. “Kalau lebih seru mah pindah saja agama ke Islam,” ucap sang guru.

Widi kembali dirundung saat di SMP. Ada seorang anak yang manggil dirinya dengan nama bapaknya, dan meminta Widi untuk shalat. Perundungan juga dialami oleh kakak Widi, Amel. Amel dirundung dari mulai saat dia SD sampai SMK. Pelakunya juga sama, sesama siswa dan guru-gurunya. Bentuknya dengan sindiran karena gak pakai jilbab, bahkan sebutan kafir. Seorang temannya bilang, Amel banyak dosanya, karena gak pakai kerudung.

Tak hanya perundungan, Amel bahkan sempat mendapat diskriminasi. Amel dipersulit mendapat nilai akademik, khususnya mata pelajaran agama. Gara-gara itu, peringkat Amel sampai melorot dari peringkat 2 menjadi 32. Gara-garanya, guru agamanya memberi dia nilai kosong. Padahal Amel sudah setor nilai yang dia peroleh dari penyuluh agamanya.

Keputusan Mahkamah Agung yang telah menyatakan penghayat kepercayaan wajib mendapatkan hak sosial dan hak politik belum dilaksanakan banyak pihak. Mirisnya, bahkan masih dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah itu sendiri. Menurut riset yang dilakukan Rela Susanti, peneliti Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 80-90 persen penghayat kepercayaan masih mendapat perundungan. Dengan tingkat perundungan berbeda-beda, dari yang ringan sampai berat. Bentuknya, berupa pengucilan, sindiran, hingga kekerasan fisik. Yang paling rentan, terjadi di jenjang pendidikan SD dan SMP.

Menurut Rela, minimnya pemahaman keberagaman di sekolah yang disertai stigma musyrik, syirik, dan klenik terhadap penghayat kepercayaan menjadi pemicu perundungan. Stigma itu, kata Rela, digiring oleh media informasi, seperti film atau sinetron. Mereka menggambarkan sosok dukun atau tokoh jahat memakai baju tradisional, iket, dan bakar kemenyan. “Ketika melihat seseorang yang bakar kemenyan, menyajikan sesajian, memakai baju tradisional, akan di-judge ‘oh ini orang yang jahat di film’,” ucap Rela.

Faktor lainnya, belum adanya tindakan serius terhadap para pelaku perundungan. Ini disampaikan oleh Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Menurut risetnya, guru yang pernah menjadi pelaku perundungan, tidak pernah ditindaklanjuti. “Guru pelaku perundungan, tidak pernah ditindak lanjuti atau diberi pembinaan,” ucap Ubaid.

Perundungan tidak boleh terjadi kepada siapapun dan dengan alasan apapun. Karena itu, negara harus turun tangan, menindak lanjuti semua kasus perundungan yang terjadi. Termasuk di sekolah. Stop perundungan!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img