Jakarta, PIS – Dalam kasus terbunuhnya santri Gontor oleh seniornya, terungkap adanya surat perjanjian yang menghebohkan. Surat tersebut ditandatangani oleh orang tua santri di atas meterai.
Surat tersebut telah tersebar luas di Internet, poin-poin di dalamnya membuat netizen tak habis pikir. Banyak yang menilai poin-poin di dalam surat itu janggal dan hendak menjebak para orang tua.
Karena surat itu mereka tak berdaya melawan apapun kehendak pesantren setelah mengirimkan anak mereka. Ada beberapa poin dalam surat tersebut yang memang bermasalah.
Misalnya, poin yang menyatakan orang tua percaya sepenuhnya kepada kebijaksanaan pesantren dan pembantu-pembantunya. Ini tidak masuk akal, karena pihak pesantren dan para pembantunya berpotensi melakukan kesalahan.
Di poin yang sama juga ditegaskan, orang tua tidak akan menuntut segala tindakan dengan risiko apapun. Kemudian ada poin yang berbunyi, tidak melibatkan pihak luar pondok, aparat kepolisian, hukum, dan lain-lain dalam menyelesaikan urusan pesantren.
Kontan warganet tidak terima dengan isi surat perjanjian tersebut, karena menunjukkan arogansi dan seolah kebal hukum. “Ini no 2 dan no 3 lembaga pondok janggan gini, yang dititipkan anak manusia bukan hewan atau ikan cupang,” ujar netizen.
“Agak gimana gitu ya redaksinya ya? Kepatuhan mutlak sama pimpinan ponpes apa ga blunder? Kaya gini menafikan hukum negara ga sih?” timpal yang lainnya. Tapi benarkah surat sakti seperti itu berlaku?
Menurut Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Brahma Astagiri, hal itu tidak benar. Perjanjian tidak boleh memuat hal yang bertentangan dengan Undang-Undang dan juga hak-hak konstitusi masyarakat.
“Meski surat perjanjian itu bermeterai dan ditandatangani, namun jika terjadi sesuatu maka harus melapor ke polisi,” kata Brahma. Menurutnya, perjanjian tak boleh membatasi hak orangtua korban untuk melaporkan kematian sang anak.
Jadi surat perjanjian antara wali murid dengan pesantren Gontor itu tidak berlaku jika berkaitan dengan hukum. Semoga orang tua murid paham fakta ini. Ayo lebih kritis lagi, walaupun terhadap pengelola pesantren!