Titiek Puspa, Sang Maestro Musik Indonesia, Meninggal Dunia

Published:

Dunia musik Indonesia sedang berduka. Maestro musik Titiek Puspa meninggal dunia di usianya yang ke 87 tahun pada 10 April 2025 kemarin. Beliau adalah seorang penyanyi, pencipta lagu, aktris, dan tokoh budaya. Eyang Titiek menjalani perawatan selama 15 hari akibat pendarahan otak.

Eyang Titiek lahir di Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, pada 1 November 1937. Eyang Titiek lahir dari keluarga sederhana yang diberi nama Koesalitih yang kemudian dikenal Sudarwati. Sejak kecil eyang sudah menunjukkan bakat seni, terutama menyanyi. Karier profesionalnya dimulai setelah eyang menjuarai lomba Bintang Radio RRI pada awal 1950-an. Pada 1954 beliau menjuarai lomba Bintang Radio RRI di Semarang yang menjadi penanda awal karier profesionalnya. Di tahun 1955, setelah tampil di sebuah acara penting kenegaraan, Presiden Soekarno memberinya nama “Titiek Puspa”, yang berarti “bunga kehidupan”.

Eyang Titiek memutuskan untuk pindah ke Jakarta di tahun 1959 dan bergabung dengan Orkes Simfoni Jakarta. Eyang mulai bergabung dengan Orkes Studio Jakarta di tahun 1960an untuk memperluas pengaruhnya di dunia musik. Di tahun 1974 eyang memenangkan Festival Lagu Pop Nasional dengan lagu “Cinta” dan mewakili Indonesia di World Popular Song Festival di Tokyo. Bersama Euis Darliah pada 1984, eyang meraih Bronze Prize di World Song Festival di Los Angeles dengan lagu “Horas Kasih”.

Total Eyang Titiek udah menciptakan lebih dari 400 lagu sepanjang hidupnya. Lagu-lagunya menyuarakan isu sosial, kemanusiaan, cinta, spiritualitas, dan pengalaman hidup, menjadikannya lebih dari sekadar hiburan tapi juga refleksi budaya. Misalnya aja lagu Kupu-Kupu Malam yang menggambarkan sisi manusiawi para pekerja seks. Lagu ini masuk dalam daftar 150 Lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa versi Rolling Stone Indonesia.

Selain bermusik, eyang Titiek juga aktif di dunia akting dan pertunjukkan. Beliau telah membintangi sejumlah film musikal dan drama keluarga pada era 1960–1980an, seperti Minah Gadis Dusun (1966) dan Kembang-Kembang Plastik (1977). Eyang Titiek juga turut menulis dan mementaskan operet seperti “Bawang Merah Bawang Putih” (1972), “Ketupat Lebaran” (1974), dan “Kartini Manusiawi” (1978). Beliau turut mendirikan PAPIKO (Persatuan Artis Penyanyi Ibu Kota) pada 1972, yang aktif dalam pertunjukan seni dan acara televisi hingga 1985.

Eyang telah meraih berbagai penghargaan. Beberapa di antaranya Satyalancana Kebudayaan dari Presiden RI (2008), Anugerah Musik Indonesia (AMI Awards) – Lifetime Achievement (2014), dan Penghargaan Asia-Pacific Broadcasting Union. Eyang menjadi ikon penyanyi perempuan yang menciptakan dan menyanyikan lagunya sendiri. Beliau juga membuka jalan bagi keterlibatan perempuan sebagai pencipta, bukan sekedar penyanyi.

Eyang Titiek juga dikenal sebagai sosok yang murah hati berbagi ilmu dan menjadi inspirasi lintas generasi. Dirinya aktif mendukung regenerasi musik lewat mentoring dan juri ajang pencarian bakat. Banyak lagunya dijadikan materi ajar musik dan aransemen orkestra yang menandakan karyanya menembus waktu. Nggak heran beliau dijuluki sebagai Ibu Musik Indonesia.

Kini sang maestro sudah pergi. Selamat jalan Eyang, karyamu akan selalu kami kenang…

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img