Komite Olimpiade Internasional (IOC) resmi menutup peluang Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade 2036. Keputusan ini muncul usai Indonesia mencabut visa enam atlet gimnastik asal Israel. IOC bahkan meminta seluruh federasi olahraga internasional tidak menggelar turnamen di Indonesia.
Pengumuman ini disampaikan Dewan Eksekutif IOC pada Rabu, 22 Oktober lalu. Ada tiga keputusan penting yang diambil. Pertama, menghentikan seluruh dialog resmi dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Kedua, merekomendasikan agar tidak ada event olahraga internasional di Indonesia sampai akses tanpa diskriminasi terpenuhi. Ketiga, meminta KOI dan Federasi Senam Internasional (FIG) hadir di markas IOC di Lausanne, Swiss, untuk membahas masalah ini. Meski begitu, keputusan ini belum bersifat permanen. IOC belum mencabut hak Indonesia sebagai calon tuan rumah secara resmi.
Masalah bermula dari keputusan pemerintah Indonesia menolak visa atlet Israel peserta Kejuaraan Dunia Senam Artistik ke-53 di Jakarta. Pemerintah beralasan, kebijakan itu didasari pertimbangan keamanan, ketertiban umum, serta politik luar negeri. Indonesia memang tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dan secara konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. IOC menilai langkah tersebut menyalahi prinsip dasar gerakan Olimpiade. Prinsip itu menekankan non-diskriminasi, netralitas politik, dan otonomi olahraga. Artinya, IOC menangguhkan dialog dan hak penyelenggaraan Indonesia sampai syarat terpenuhi.
Respons publik di Indonesia pun terbelah. Sebagian netizen mendukung pemerintah karena menilai anggaran Olimpiade bisa dialihkan untuk kebutuhan rakyat. Sementara yang lain mengkritik karena olahraga dianggap tak seharusnya dicampur dengan politik. Banyak yang menilai keputusan IOC ini perlu dikaji ulang. Sebab, Indonesia bukan menolak atas dasar kebencian atau diskriminasi, melainkan posisi politik luar negeri yang sah dan konsisten. Sejak lama, Indonesia berpegang pada prinsip bebas aktif serta menolak penjajahan dalam bentuk apa pun. Dukungan terhadap Palestina juga tercantum dalam semangat Pembukaan UUD 1945. Jadi, sikap Indonesia lebih merupakan wujud komitmen moral dan konstitusional.
Langkah IOC sendiri memunculkan kesan adanya standar ganda dalam olahraga global. Ketika Rusia menyerang Ukraina, IOC dan FIFA menangguhkan Rusia atas dasar moral. Tapi ketika Indonesia menolak atlet dari negara yang juga tengah melakukan agresi, justru disebut melanggar prinsip Olimpiade. Di sini terlihat netralitas IOC sebenarnya tidak sepenuhnya netral. IOC tampak selektif dalam menegakkan prinsip, tergantung siapa pelaku dan korbannya. Padahal, sebagai organisasi internasional, IOC seharusnya menghormati kebijakan luar negeri setiap negara anggota. Bukan malah tunduk pada tekanan politik global.
IOC kerap menyerukan slogan “sport unites the world”. Namun keputusan terhadap Indonesia justru memberi kesan bahwa politik kini ikut mengatur arah olahraga. Prinsip non-diskriminasi dalam Piagam Olimpiade seharusnya juga mencakup penghormatan terhadap nilai kemanusiaan dan kedaulatan bangsa. Jika Indonesia dinilai tak netral karena menolak Israel, maka negara Barat yang memboikot Rusia pun seharusnya ditegur demi konsistensi.
Indonesia tidak menolak olahraga. Indonesia menolak ketidakadilan. Keputusan ini bukan bentuk kebencian terhadap atlet mana pun, tapi simbol bahwa Indonesia tidak akan menormalisasi penjajahan dalam bentuk apapun—termasuk lewat arena olahraga. Kita tidak boleh melepas prinsip kemanusiaan hanya demi status tuan rumah Olimpiade. Solidaritas kita untuk Palestina!


