Menteri HAM Natalius Pigai benar-benar bikin geleng kepala. Masa dia menolak berdiskusi dengan para pegiat HAM dan malah bilang mereka harus “menjual gagasan” biar bisa jadi Komisioner Komnas HAM atau Menteri HAM? Ucapan itu ia lontarkan saat diwawancarai di acara Inside Politics CNN Indonesia pada 7 Oktober lalu. Temanya waktu itu “Satu Tahun Pembangunan HAM di Indonesia”. Panelis yang hadir: Wirya Adiwena (Amnesty International), Andrie Yunus (KontraS), dan Audrey K. M. (ICJR).
Alih-alih menanggapi isi diskusi, Pigai malah berkata, “Itu mereka junior saya. Biarin mereka jual gagasan dulu supaya bisa jadi Komisioner Komnas HAM dan Menteri HAM.” Host acara lalu menegaskan, “Berarti Anda tidak berkenan berdiskusi dengan panelis?” Pigai menjawab, “Nggak! Dengar dulu. Saya cuma mau mereka paham prinsip-prinsip HAM, baru kalau jualan gagasannya bagus bisa jadi komisioner.” Jawaban itu bikin publik heran. Seolah Pigai memandang diskusi publik sebagai ajang pembuktian jabatan, bukan ruang bertukar ide.
Padahal, Pigai bukan orang baru di dunia HAM. Ia aktif sejak era reformasi di Yayasan Sejati (1999–2002) yang fokus pada hak masyarakat terpinggirkan di Papua, Dayak, Sasak, dan Aceh. Ia juga pernah terlibat di WALHI dan KontraS sebelum jadi Komisioner Komnas HAM periode 2012–2017. Pigai dikenal vokal dan sering bicara soal keadilan bagi Papua. Tapi sejak menjabat Menteri HAM pada 20 Oktober 2024, citranya mulai menurun.
Pada 21 Januari 2025, Celios merilis laporan “Rapor 100 Hari Kabinet Prabowo–Gibran”. Hasilnya, Pigai termasuk menteri dengan skor negatif karena “belum ada gebrakan HAM signifikan.” Pada 5 Februari, DPR menegurnya karena dinilai “tidak terlihat kerja nyata di bidang HAM.” Pigai menjawab, peran kementeriannya hanya “menyusun regulasi, bukan turun ke lapangan.” Maret 2025, ia kembali disorot setelah mengajukan anggaran Rp20 triliun untuk membangun Universitas HAM, kampung HAM, dan digitalisasi dokumen. Publik dan DPR menilai rencana itu terlalu besar dan tidak jelas.
Lalu pada Agustus–Oktober, mahasiswa Papua berdemo menuntut penyelesaian pelanggaran HAM. Mereka kecewa karena Pigai, yang berasal dari Papua, dianggap tidak menunjukkan keberpihakan. Dan pernyataannya di CNN jadi puncak kontroversi. Bukan cuma menolak berdialog, Pigai terdengar merendahkan para aktivis yang justru mitra penting pemerintah. Apa yang dilakukan Pigai itu membuat citra pemerintah terlihat buruk.
Menteri HAM seharusnya jadi teladan keterbukaan, siap dikritik, dan mau dengar semua suara. Kalau pejabat HAM aja alergi diskusi, gimana publik bisa percaya negara benar-benar peduli hak asasi? Secara politik, ini juga memalukan. Dunia internasional bisa melihat, pejabat yang mestinya menjembatani malah menutup pintu. Sikap seperti ini menunjukkan dua hal: kurang dewasa menghadapi kritik dan kehilangan kepekaan moral.
Ketika Menteri HAM menolak diskusi terbuka, itu bukan menjaga wibawa—tapi kehilangan kredibilitas. Ironisnya, Pigai dulu dikenal sebagai aktivis yang lantang menentang arogansi kekuasaan. Sekarang justru dia yang terjebak dalam sikap itu sendiri. Publik melihat ini sebagai kemunduran moral: dari pembela HAM jadi pejabat yang menolak kritik. Padahal di era demokrasi, pejabat publik dituntut untuk terbuka, bukan defensif.
HAM itu tentang keberanian mendengar, bukan bicara dari posisi kuasa. Saat Pigai menolak berdialog, ia sedang menolak semangat HAM itu sendiri. Pemerintah akhirnya kehilangan wajah humanisnya di hadapan rakyat dan dunia internasional. Dan kalau pejabat yang seharusnya paling paham soal nilai kemanusiaan bersikap seperti ini, wajar kalau publik merasa: negara ini makin jauh dari semangat HAM. Yuk, jadi pejabat yang bersedia mendengar kritik


