Apa Iya Jatah Warisan Laki-laki Harus Lebih Banyak 2 Kali Lipat Dibanding Perempuan?

Published:

Pertanyaan ini penting diajukan setelah beredar konten influencer @oktawirawan. Di videonya itu, dia bilang pembagian warisan 2 banding 1 bagi laki-laki dibanding perempuan sudah lama berlaku dan sudah menjadi ketetapan Allah. “Warisan itu bukan soal kesepakatan keluarga, tapi soal ketaatan kepada Allah,” ucapnya.

Walau semua anak sepakat warisan dibagi rata, itu salah karena berbeda dari ketentuan syariat, katanya. Kalau mau dibagi rata, dia menawarkan solusi. Katanya, warisan dibagi dulu sesuai syariat, yaitu 2 banding 1 bagi laki-laki dibanding perempuan. Baru setelah itu dibagi rata dengan niat hibah atau hadiah.

Tapi, benarkan pembagian 2 banding 1 adalah ketentuan syariat yang tetap dan tidak bisa diubah seiring perkembangan zaman? FYI, pembagian warisan 2 banding 1 itu muncul di masyarakat Arab pada 1.400 tahun yang lalu. Pada zaman perempuan tidak punya kuasa hukum atas dirinya sendiri, hartanya sendiri, atau propertinya sendiri. Bahkan pada zaman itu perempuan dianggap sebagai properti, bukan sebagai manusia. Perempuan pada zaman itu bisa diwariskan dan dijadikan alat transaksi.

Nasib perempuan merdeka sedikit lebih baik dari laki-laki budak. Pada zaman itu, yang dominan adalah laki-laki merdeka. Mereka yang bekerja, membayar utang keluarga, dan mengurus semua kebutuhan keluarga. Dalam struktur dan kondisi sosial seperti itu, ya wajar laki-laki mendapat previledge. Termasuk dalam soal waris. Porsi mereka lebih besar dibanding porsi perempuan.

Masalah, zaman berkembang. Realitas sosial pun berbeda. Perempuan hari ini bukan lagi properti. Bahkan, dalam banyak kasus perempuan mengambil alih tanggung jawab mengurus keluarga. Banyak perempuan yang menjadi tulang punggung plus kepala rumah tangga. Kerja iya, membayar cicilan rumah iya, sekolahkan adik iya, bahkan membiayai orangtua.

Ini terbukti dari Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia di tahun 2023. Lebih dari 12 persen rumah tangga dipimpin perempuan. Banyak dari perempuan yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Jadi, anggapan bahwa ‘laki-laki pasti jadi penanggung jawab utama keluarga’ sudah tidak relevan lagi. Dan fakta sosial ini bukan cuma angka statistik, tapi kenyataan hidup saat ini.

Mempertanyakan relevansi pembagian 2 banding 1 bagi laki-laki dibanding perempuan dalam soal warisan, bukan berarti menolak ketentuan syariat. Tapi, supaya agama sejalan dengan asas keadilan dan terus relevan. Bayangkan, apakah adil anak perempuan yang banting tulang mendapat setengah dari adik atau kakak laki-lakinya yang tidak berguna?

Al-Quran itu bukan sekadar kumpulan hukum, tapi juga nilai. Dan salah satu nilai utamanya adalah ‘adl, keadilan. Kalau hukum dijalankan tapi malah menyebabkan ketimpangan, Allah pasti tidak akan marah kalau kita melakukan tafsir ulang. Apalagi Islam dipercaya rahmatan lil ‘alamin. Harusnya hukum yang bersumber dari al-Quran berdampak kebaikan bagi semua pihak. Bukan justru memaksa realitas tunduk dengan konteks masa lalu.

Banyak ulama modern yang terbuka soal tafsir ulang ini. Contohnya, Amina Wadud, ulama perempuan progresif asal Amerika keturunan Afrika. Dia pernah bilang Al-Qur’an itu bukan buku hukum, tapi panduan etika dan moral. Jadi penafsirannya harus sadar konteks zaman dan realitas manusia yang terus berubah. Dan menafsir ulang hukum Islam dimungkinkan dalam tradisi fikih, yurisprudensi Islam.

Silahkan kalau mau mengikuti pembagian 2 banding 1 bagi laki-laki dibanding perempuan dalam soal warisan. Tapi tidak perlu menghakimi yang melakukan tafsir ulang ketentuan itu. Toh, masing-masing sedang berijtihad. Yuk, beragama dengan akal sehat!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img