Jangan Paksa Hukum Agama Pada Urusan Negara

Published:

Jakarta, PIS – Cara pandang beragama yang sempit memang bisa bikin masalah. Coba dengar pendapat ahli hukum Universitas Indonesia, Dr Neng Djubaedah PhD. Neng menjadi saksi ahli dalam sidang Mahkamah Konstitusi.

Neng berusaha menunjukkan bahwa pernikahan beda agama seharusnya tetap dilarang karena perkawinan menurutnya adalah ibadah. Ibadah yang dimaksud Neng itu adalah ibadah versi Islam.

Pernyataan itu jelas bermasalah dalam konteks keindonesiaan. Karena Indonesia bukan negara agama, tidak bisa dong sebuah tindakan dilarang dilakukan di Indonesia karena alasan agama.

Misalnya saja, dalam aturan Islam, meminum alkohol itu haram. Tapi di Indonesia, tidak bisa lah orang Islam dilarang minum alkohol karena alasan larangan agama. Kalau mau minum bir, wine atau whiskey, ya silahkan saja.

Soal dosa, itu adalah urusan antara manusia dan Tuhan. Begitu juga dengan soal nikah beda agama. Kalaulah dalam Islam pernikahan harus dilakukan oleh pasangan seiman, aturan itu seharusnya tidak bisa dipaksakan pada orang islam yang hendak menikah dengan non-Islam.

Neng bicara itu dalam konteks gugatan UU Perkawinan yang melarang pernikahan beda agama. Gugatan diajukan ke MK oleh pria Katolik asal Papua bernama Ramos E Petege.  Ramos gagal menikah dengan perempuan beragama Islam, karena terkendala UU Perkawinan.

Dalam UU Perkawinan itu ada ayat yang ditafsirkan sebagai larangan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan dalam satu agama. Ramos meminta MK membatalkan ayat bermasalah itu.

Ajaran agama memang bermasalah jika diterapkan untuk masyarakat yang memiliki agama dan keyakinan beragam. JANGAN PAKSAKAN PANDANGAN AGAMA PADA URUSAN NEGARA!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img