Udah gajinya dibayarin rakyat, eh bukannya hadir di rapat malah bolos. Itulah kelakuan sejumlah oknum anggota DPR yang bikin publik geleng-geleng kepala. Hal itu diungkap Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Menurut catatan Formappi, persoalan ini jadi wajah buram DPR periode sekarang.
Dari data yang dihimpun, satu-satunya rapat paripurna dengan kehadiran penuh hanyalah saat pelantikan anggota pada 1 Oktober 2019. Setelah itu, jumlah kehadiran terus menurun drastis. Pada rapat pengambilan sumpah pimpinan DPR, hanya tercatat sekitar 49,57 persen anggota yang hadir. Artinya lebih dari separuh kursi kosong. Ketika penutupan masa sidang 17 Desember 2019, angka kehadiran memang naik. Tapi tetap cuma sekitar 62,09 persen atau 357 dari 575 anggota. Formappi menilai, meski sedikit lebih baik dibanding periode 2014–2019, persentase itu masih jauh dari ideal. Budaya bolos terbukti melekat di parlemen.
Bolosnya anggota dewan di rapat paripurna dianggap bisa mencederai demokrasi. Sebab paripurna adalah ruang pengambilan keputusan tertinggi negara. “Ini kan tidak menghargai diri sendiri dan tidak menghargai pimpinan DPR yang jadi lokomotif lembaga ini,” tegas Formappi. Sikap seperti ini jelas tak elok diteruskan. Publik menuntut DPR periode 2019–2024 lebih disiplin, rajin hadir, dan serius menjalankan kewajibannya.
Namun anehnya, ada anggota DPR yang justru protes saat muncul wacana pemotongan gaji bagi yang absen. Salah satunya Adian Napitupulu. Menurutnya, kinerja dewan tak bisa hanya diukur dari absensi rapat. Katanya, ada juga dedikasi wakil rakyat dalam memperjuangkan aspirasi langsung di lapangan. Ia bahkan bilang kalau terlalu fokus ke absensi, nanti DPR bisa “terjebak absensi”. Tapi faktanya, kehadiran di ruang sidang adalah tanggung jawab paling mendasar seorang legislator. Tanpa hadir, bagaimana mungkin fungsi kontrol, legislasi, dan representasi rakyat bisa dijalankan dengan baik?
Masalahnya bukan cuma bolos rapat. Kebiasaan buruk lain adalah tidur saat rapat. Belum lama ini publik dibuat heboh oleh anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Nasdem, Furtasan Ali Yusuf. Ia ketahuan tertidur hampir 30 menit saat rapat kerja pada 27 Agustus 2025. Ada juga anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PDIP, Rendy Lamadjido. Ia mengaku tertidur di sidang paripurna 9 Juli 2025 karena kelelahan setelah hampir sepekan keliling dapil di Sulawesi Tengah.
Fenomena bolos dan tidur ini jelas bukan sekadar soal individu malas atau lelah. Ia mencerminkan problem sistemik dalam budaya politik kita. Anggota DPR menikmati gaji besar, fasilitas mewah, tapi abai pada disiplin kerja. Padahal itu mestinya jadi syarat dasar seorang pejabat publik. Ketika separuh kursi kosong atau ada yang tidur di forum resmi negara, yang rusak bukan hanya wibawa DPR. Hak rakyat yang menitipkan mandatnya pun ikut tercederai.
Ironisnya, masih ada yang menyepelekan absensi dengan alasan “jangan terjebak absensi”. Padahal kehadiran bukan sekadar tanda tangan. Kehadiran adalah bukti nyata komitmen menjalankan amanah rakyat. Jika pola ini dibiarkan, legitimasi DPR akan terus tergerus. Sinisme publik makin kuat. Parlemen makin jauh dari fungsi sejatinya sebagai pengawas pemerintah sekaligus corong aspirasi masyarakat. Rakyat menuntut wakil yang hadir, mendengar, dan bekerja serius. Bukan hanya duduk di kursi empuk lalu abai pada tanggung jawabnya. Saatnya DPR berbenah dan membuktikan diri sebagai lembaga terhormat. Bukan sekadar simbol kekuasaan. Yuk, jadi pejabat yang amanah!


