Penulisan ulang buku *Sejarah Indonesia* yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan nggak berjalan mulus. Salah satu anggotanya memutuskan mundur. Alasannya, banyak kejanggalan dalam proses penyusunannya yang ditemuinnya. Yang mundur itu adalah arkeolog senior, Harry Truman Simanjuntak.
Peraih gelar doktor dari Institut de Paleontologie Humaine, Paris, itu seorang Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dia juga sekarang menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia. Truman resmi mundur pada 20 Januari lalu. Dia menyebut se-nggaknya ada 5 kejanggalan dalam penulisan ulang sejarah.
Pertama, target *deadline*-nya terlalu cepat. Penulisan ulang sejarah ditargetkan rampung pada Juni 2025, sedangkan rapat persiapannya baru dimulai sekitar akhir November 2024. Lalu rapat konsep penyusunan bukunya baru dilaksanain awal Januari 2025. Padahal, proyek buku sejarah sebelumnya yaitu *Indonesia Dalam Arus Sejarah* (IDAS) butuh waktu 10 tahun, dari tahun 2000an dan kelar 2012.
Kedua, penyusunan konsep buku sejarah itu malah dilakukan editor umum atas arahan penguasa. Harusnya, penyusunan konsep buku sejarah dilakukan melalui diskusi terbuka atau seminar ilmiah dan harus melibatkan para sejarawan ahli, bukan arahan penguasa.
Ketiga, *outline* sepuluh jilid buku sejarah itu dikasih tanpa libatin sejarawan. “Tiba-tiba *outline* sudah jadi, padahal mestinya disusun oleh para ahli,” kata Truman. “Ini menyebabkan substansi dan alur pemikiran dalam *outline* menjadi rancu dan tidak sesuai perkembangan keilmuan,” lanjutnya.
Keempat, kata ‘prasejarah’ diganti jadi ‘sejarah awal nusantara’. Ini aneh, menurutnya, karena istilah prasejarah sendiri udah dipake lebih dari 200 tahun. Kata prasejarah juga udah jadi standar di buku-buku sejarah nasional, seperti buku sejarah tahun 1984.
Kejanggalan terakhir, narasi cenderung glorifikasi, politis, dan “Indonesia-sentris”. Truman menilai buku ini berpotensi memuat tafsir tunggal yang positif. Maksudnya, mengedepankan kebanggaan nasional tanpa *space* untuk refleksi ilmiah terhadap fakta sejarah, termasuk aksi pelanggaran HAM.
Kritik juga datang dari Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Pada 19 Mei lalu lalu AKSI melakukan audiensi terbuka bersama Komisi X DPR RI. AKSI secara tegas menolak rancangan itu. Menurut mereka, penulisan ulang buku sejarah dianggap mengabaikan emansipasi perempuan, sejarah Papua, dan peran Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika. Ini dianggap melemahkan pluralitas narasi sejarah.
Ditambah lagi respons Menteri Budaya, Fadli Zon, yang terkesan “tutup mata” terhadap peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa tahun 1998. Fadli bilang aksi pemerkosaan massal Mei 1998 itu hanya ‘rumor’ dan nggak ada buktinya saat diwawancara di *IDN Times* pada 11 Juni lalu.
Padahal, Laporan resmi TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) pada Juli 1998 mencatat banyak banget korban peristiwa kelam itu. Rinciannya, 52 korban pemerkosaan, 14 kasus pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 penyerangan seksual, dan 9 pelecehan seksual. Sebagian besar korban adalah perempuan etnis Tionghoa.
Penulisan ulang *Sejarah Nasional Indonesia* harusnya jadi momen mencatat perjalanan bangsa dengan jujur dan ilmiah. Tanpa dibonceng dengan agenda politik dan kejanggalan serius secara saintifik. Sejarah ditulis bukan untuk menyenangkan penguasa. Sejarah ditulis sebagai kompas untuk jalan ke depan dan tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Yuk, tulis ulang sejarah Indonesia dengan jujur dan ilmiah!