Keren! Taman Doa Ini Diresmikan dan Jadi Simbol Toleransi di Jakarta

Published:

Ada taman doa di Jakarta yang menjadi ikon toleransi. Namanya Taman Doa Kasih Mulia Sejati, terletak di Rawa Buaya, Jakarta Barat. Taman ini diresmikan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung pada Sabtu, 20 September. Dibangun di atas lahan milik yayasan, taman ini terbuka bagi siapa pun yang ingin berdoa dan mencari ketenangan. Pramono menekankan taman ini bukan hanya untuk umat Katolik. Siapa pun boleh berdoa sesuai keyakinannya, sejalan dengan semangat pluralisme Jakarta. Taman diharapkan menjadi simbol persatuan dan kerukunan antarumat beragama. Selain tempat ibadah, taman juga bisa berkembang menjadi destinasi wisata religi yang menarik. Contohnya seperti Puhsarang di Kediri, Jawa Timur, yang menggabungkan fungsi spiritual dan sosial.

Taman ini mempererat silaturahmi antarwarga dengan menyediakan ruang publik yang aman dan nyaman. Kompleks seluas satu hektar ini dirancang sebagai pusat spiritual dan sosial yang menyeluruh. Di dalamnya terdapat taman doa seluas 5.000 meter persegi untuk ibadah dan kontemplasi. Ruang lapang ini memberikan area ibadah yang nyaman dan tenang bagi semua umat. Kompleks juga dilengkapi fasilitas sosial seperti panti asuhan dan layanan komunitas. Hal ini menunjukkan komitmen nyata terhadap kesejahteraan masyarakat. Pramono menekankan pluralisme sebagai kekuatan utama Jakarta dalam menghadapi keragaman. Ia sering menghadiri acara berbagai agama untuk menegaskan pesan persatuan.

Pembangunan taman ini menjadi bukti nyata kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Dengan semangat kebersamaan, fasilitas keagamaan inklusif dapat terwujud tanpa diskriminasi. Sebelumnya, Pramono juga meresmikan pembangunan gereja Katolik yang mandek selama 33 tahun. Tindakan ini menjadi oase di tengah pemimpin daerah yang menunda fasilitas ibadah karena tekanan intoleran. Contohnya, Bupati Karanganyar menunda pembangunan destinasi wisata rohani akibat protes ormas intoleran. Kepemimpinan daerah seharusnya menegakkan hak konstitusional warga, termasuk kebebasan beribadah. Semua warga dijamin hak beribadah tanpa diskriminasi, sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945.

Praktik intoleransi menunjukkan adanya celah struktural dalam birokrasi dan politik lokal. Ketakutan politik, tekanan kelompok mayoritas, dan lemahnya pengawasan sering menghambat pembangunan fasilitas ibadah. Hal ini memicu warga merasa teralienasi, menurunkan kepercayaan, dan memperlebar jurang sosial. Pramono Anung menjadi contoh kepemimpinan inklusif yang dapat mengubah struktur sosial. Dengan menyediakan ruang ibadah terbuka untuk semua agama, taman memperkuat kohesi sosial melalui simbol persatuan. Ruang publik inklusif berfungsi sebagai mekanisme mitigasi konflik sosial. Interaksi antarumat beragama di ruang aman menurunkan bias, meningkatkan empati, dan menumbuhkan budaya toleransi.

Pemimpin yang takut tekanan politik justru melemahkan legitimasi pemerintah dan memperburuk ketegangan sosial. Jakarta menunjukkan keberanian dan konsistensi hukum dalam menciptakan fasilitas keagamaan inklusif. Hal ini sekaligus menjadi katalisator harmoni sosial yang nyata di tengah kota besar. Toleransi bukan sekadar slogan; ia adalah hasil kepemimpinan yang tegas, berbasis hukum, dan berorientasi pada kesejahteraan kolektif. Ketidakberanian pemimpin daerah menghadapi tekanan intoleran berdampak langsung pada kualitas demokrasi dan rasa aman warga. Fasilitas ibadah yang tertunda atau terhambat menciptakan ketidaksetaraan sosial dan frustrasi komunitas minoritas. Kepemimpinan inklusif, seperti yang ditunjukkan Jakarta, membuktikan bahwa keberanian politik dapat memfasilitasi harmoni sosial sekaligus menegakkan hak konstitusional warga. Semua pemimpin daerah seharusnya bersikap seperti ini. Melindungi hak beribadah, menjunjung pluralisme, dan membangun harmoni sosial tanpa kompromi, sebagai landasan bagi masyarakat yang damai, inklusif, dan berkeadaban. Yuk jadi pemimpin yang inklusif!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img